FENOMENA KOST-KOSTAN
Kost bisa memiliki banyak fungsi, dari tempat beristirahat, tempat belajar hingga tempat bercumbu. Ada mahasiswa membuat kost sebagai tempat istirahat sekaligus kantor, tempat ia bekerja. Tetapi tidak sedikit mahasiswa yang menjadikan kost sebagai tempat melampiaskan nafsu sesaat.
Kost atau rumah sementara sudah menjamur hampir di seluruh wilayah di pulau Jawa. Kost menjadi pilihan tempat sementara bagi mereka yang merantau untuk bekerja, menimba ilmu atau bagi orang yang hanya sekedar ingin memiliki privasi. Sebagai salah satu kota yang dituju wisatawan, dan kota yang menjadi tujuan bagi para pelajar, Yogyakarta tentunya menjadi salah satu kota dengan jumlah kost-kostan yang cukup banyak. Di balik tempat yang mayoritas dihuni mahasiswa tersebut terdapat berbagai macam kejadian. Dari ukiran prestasi hingga peristiwa portitusi, namun tempat itu hanya menjadi saksi bisu atas semua yang telah mereka lakukan.
“Di kost saya ini, laki-laki tidak boleh masuk. Cuma sampai teras aja” ujar Maryati, pemilik salah satu kost putri di Babarsari. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu bentuk antisipasi adanya pergaulan bebas yang sedang marak sekarang ini. “Walau cewek tetap saja saya tidak percaya, wong cewek-cewek zaman sekarang banyak yang ‘berani’ alias nggak bener” tambahnya. Bu maryati seakan ingin menegaskan bahwa yang terjadi pada pergaulan remaja di Jogja saat ini tak lagi dapat disepelekan. Tidak sedikit mahasiswi yang terjerumus dalam pergaulan bebas hanya karena putus cinta atau karena bermasalah dengan keuangan. Sebut saja Melati, siswi ini salah satu perguruan swasta di Jogja ini telah beberapa kali menggugurkan kandungan karena pergaulan bebas. “Saya kan nggak mungkin jujur sama orang tua mba, bisa-bisa saya diusir dan nggak diakui anak lagi sama mereka” ujarnya. Hal tersebut bisa terjadi karena kost yang hingga sekarang masih ia tinggali merupakan kost bebas, sehingga pacarnya setiap waktu bisa tidur dan menginap bersamanya.
Ada pula mahasiswa yang benar-benar memanfaatkan kost sebagai tempat untuk belajar atau berlatih. Seperti yang dikerjakan oleh Alex, mahasiswa rantauan asal Palembang, ia membuat tempat istirahatnya tersebut sekaligus menjadi kantor baginya. Karena di tempat itu pula ia biasa mengerjakan design clothing, pesanan dari para pelanggannya. Hal serupa juga dilakukan oleh I Putu Yudi Cahyana, ia biasa menghabiskan waktu dikost untuk berlatih drum. Hal tersebut dilakukannya karena ia masih tercatat sebagai mahasiswa Univeritas Negeri Yogyakarta jurusan seni musik, “Aku biasa latian di kost, soalnya kalo dikampus alatnya terbatas” jelasnya. Kost tempat ia tinggal tergolong kost bebas, karena teman atau siapapun yang berkunjung tidak dibatasi ruang atau waktunya. Namun hal tersebut tak menjadikannya sebagai mahasiswa yang liar, “Sebenernya bisa-bisa aja aku bawa pacar kesini, nginep juga bisa tapi resiko kan aku juga yang tanggung, jadi main aman aja deh” ujar Yudi ketika ditanya seputar kebebasan di kostnya.
Bagi bu Maryati, aturan dan batasan-batasan yang diberlakukan di sebuah kost-kostan wajib dilakukan. Selain memberikan rasa aman bagi penghuninya juga membuat tenang pemilik kost. Banyak kejadian yang membuat trauma bagi beberapa pemilik kost, pak Y (nama samaran) salah satunya “Dulu pernah ada yang ketangkep bawa narkoba, alhasil kost saya jadi sepi karena anak-anak yang ngekost pada keluar, katanya pada takut kalo kesangkut. Saya kan jadi rugi”. Bukan hanya itu saja, ia juga pernah dituntut orang tua dari mahasiswi yang ngekost ditempatnya, karena anak tersebut hamil. Pak Y cukup kapok dengan kejadian-kejadian tersebut, sehingga kini ia terapkan aturan baru. Salah satunya adalah tamu yang menginap wajib lapor pemilik kost.
Namun demikian kost bebas tetap menjadi primadona para mahasiswa/i, “kalau saya lebih memilih kost bebas seperti kost saya sekarang ini, soalnya selain kuliah saya nyambi kerja jadi penyanyi cafe, jadi sering pulang malem” ujar Dian. Seakan mendukung pernyataan Dian, X juga berpendapat sama, lebih memilih kost bebas daripada kost terbatas. Tetapi X memiliki alasan lain mengapa ia memilih kost yang bebas, “kalo kostnya ngga bebas, gimana aku ma servis pelanggan-pelangganku” karena selain kuliah, ia juga bekerja memiliki profesi lain, yaitu sebagai “ayam kampus”.
Kost bebas sering kali juga meresahkan masyarakat sekitar, seperti yang dituturkan bu Ida, salah satu warga yang berada di sekitar kampus Institut Seni Indonesia. “Disini banyak kost yang bebas mba, dari pada yang ngga” ujarnya, Ketika ditanya mengenai gangguan yang terjadi, ia mengatakan sebenarnya cukup membuat risih dengan adanya kost-kost bebas tersebut, bisa membawa dampak buruk bagi anak-anak khusunya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, karena kalah dari mayoritas. Pendapat berbeda diungkapkan bu Watik yang juga warga daerah tersebut, baginya kost bebas justru berkah tersendiri bagi usaha warung makan 24 jam miliknya, “Kalo semua kost disini ngga bebas, yang ngalirisi (membeli makanan) warung saya ngga ada mba. Soalnya lebih banyak yang dateng malem daripada siang” ujarnya.
Kost yang notabene sebagai tempat istirahat, dapat menjadi tempat apa saja. Tidak selalu identik dengan yang negatif karena perbuatan melanggar norma dapat dilakukan dimana saja, di kost beraturan sekalipun. Menurut silvi, kost memang tidak seharusnya menjadi tempat untuk berbuat hal negatif karena jika asumsi itu berkembang menjadi opini publik, maka banyak pihak akan dirugikan termasuk mahasiswa penghuni kost lain. Dalam hal ini semua pihak harus pintar dalam menyikapinya.
*Identitas Pak Y dan X dirahasiakan sesuai keinginan nara sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar