Kamis, 09 September 2010

ZAKAT PROFESI, KASB AL-`AMAL (1)




Ditulis oleh Dewan Asatidz
(Direktur “Markaz ‘l-Iqtishad al-Islamy� Universitas al-Azhar) Penerjemah Shocheh Ha., Udy Andriyati & Yulaicha Fitria Yang dimaksud profesi atau kasb al-`amal (pendapatan kerja, gaji/upah, pendapatan dari profesi tertentu). Pendapatan profesi didefiniskan: pendapatan yang diperoleh dari kerja fisik maupun otak—yang dimanfaatkan orang lain—sebagai imbalan atau upah. Hal ini ada dua macam: Pertama, gaji, upah, dan sejenisnya; yaitu imbalan seorang buruh, karyawan, atau pegawai yang bekerja kepada orang lain, perusahaan atau instansi pemerintah. Dan, Kedua, pendapatan seseorang dari jenis pekerjaan atau usaha bebas (swasta), yaitu pendapatan yang diperoleh berdasarkan usaha, pekerjaan, atau layanan jasa untuk orang lain dengan menarik imbalan, semisal dokter, pengacara, insinyur, akuntan, seniman, juga pengrajin yang mengerjakan kerajinan tangan untuk orang lain. Apakah gaji, upah, dan honor para pekerja (profesionalis) terkena wajib zakat secara syar`iy? Sebagian pakar fiqh masa kini berpendapat bahwa pendapatan atau income ini merupakan mata uang. Dengan demikian, ia terkena zakat mata uang yang mensyaratkan lewat satu tahun penuh, dan mencapai nisab. Namun karena pegawai atau karyawan umumnya mengambil gajinya secara bulanan dan langsung membelanjakannya tanpa menyimpannya dalam waktu satu tahun penuh, maka dia tidak akan terkena kewajiban zakat. Anggapan semacam ini tidak bisa diterima. Pendapatan kerja yang berupa gaji pegawai, upah karyawan, dan honor profesionalis kesemuanya terkena wajib zakat, dengan alasan sebagai berikut: 1). Firman Allâh, “Hai, orang-orang beriman! Berikanlah nafkah dari pendapatanmu yang baik dan dari hasil bumi yang telah Kami keluarkan untukmu�, (al-Baqarah/2: 267). Dan pendapatan kerja merupakan pendapatan yang terbaik sebagaimana sabda Nabi saw, “Tidak ada makanan anak Adam yang lebih baik dari hasil jerih payahnya sendiri�. 2). Keumuman sabda Rasul saw, “Setiap Muslim harus mengeluarkan sedekah�. Para sahabat bertanya, “Wahai, Nabi Allâh! Jika ia tidak memiliki apa-apa?!� Nabi menjawab, “Hendaklah ia bekerja sehingga bisa mencukupi dirinya sendiri dan bisa bersedekah�. Sementara sedekah bisa berupa zakat, bisa juga sedekah sunah. 3). Kisah yang diriwayatkan oleh Abû `Abîd Ibn Salâm dalam bab “al-Amwâl, keuangan�, bahwa Ibn `Abbâs ra. ditanya tentang seseorang yang menginvestasikan harta. Dia menjawab, “Dia harus membayar zakatnya ketika tiba saat pengeluaran�. 4). Kisah yang menceritakan bahwa Ibn Mas`ûd memberi upah dengan dimasukkan ke dalam “zabal� kecil (kantong yang terbuat dari daun korma, atau sejenisnya), kemudian mengambil zakat dari upah tersebut. 5). Kisah yang diriwayatkan oleh Imam Mâlik dalam kitab Muwatha’ bahwa Mu`âwiyah mengambil zakat dari gaji yang diberikan. 6). Kisah yang menceritakan bahwa `Umar Ibn `Abd-u ‘l-`Azîz, al-Khulafâ’ al-Râsyidûn yang kelima, ketika memberikan gaji para pegawainya ia mengambil zakat darinya, dan ketika mengembalikan harta orang yang didlalimi, beliau juga mengambil zakatnya. Pendapat di atas didukung dan dianggap kuat oleh Dr. Yusuf al-Qardlawi dalam bukunya Fiqh al-Zakah, dan Syaikh Muhammad al-Ghazâlî dalam bukunya al-Islâm wa ‘l-Awdlâ` al-Iqtishâdiyyah. Sebagaimana undang-undang zakat di Sudan juga mengharuskan pembayaran zakat atas gaji, upah, dan pendapatan dari kerja bebas, profesi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar