Kamis, 09 September 2010

tanya jawab seputar zakat

Untuk menyalurkan pembayaran zakat maal yang diterima dari upah saya mempunyai beberapa pertanyaan :
1. Apakah pembayaran zakat yang harus dibayarkan itu berupa upah kotor ataukah upah bersih setelah dipotong untuk keperluan sehari-hari seperti pembayaran listrik/telpon, uang sekolah, belanja, cicilan2 rumah/mobil dsb ?
2. Apakah diperbolehkan memberikan zakat mal kepada :
a. Musholla / Mesjid
b. Orang Tua
c. Adik
d. Pembantu ataupun orang tuanya yang hidupnya kekurangan
e. Kepada seseorang yang menjadi pengurus orang tua
asuh yang jelas2 biaya
tsb sangat diperlukan oleh anak2 sekolah
f. Yayasan Yatim Piatu
g. Tukang sampah / kebun

Jawab:

1. Zakat gaji/upah (populer dengan zakat profesi) dilakukan setelah total gaji itu dikurangi biaya kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Jika, misalnya, gajinya Rp. 500 ribu sebulan, dan kebutuhan-kebutuhannya mencapai Rp. 300 ribu tiap bulannya, maka sisanya yang Rp. 200 ribu yang harus dizakati. Boleh saja membayar zakatnya setiap kali menerima gaji (jika memang setiap sisa gajinya/pemasukannya mencapai nisab, yaitu senilai 85 gram emas), dan boleh juga dikumpulkan lebih dulu selama setahun, baru setelah itu dizakati. Jadi, kalaupun sisa gajinya kurang dari nisab (misal saja sisanya tinggal Rp. 50 ribu perbulan), maka jika setelah ditotal selama setahun (Rp. 50 ribu X 12 = Rp. 600 ribu) mencapai nisab, dia berkawajiban membayar zakatnya, yaitu sebesar 2,5%. Jika tidak mencapai nisab, ya tidak.

2. Bisakah zakat disalurkan ke :

a. Mushola atau masjid?
Pembayaran zakat ke masjid dan musalla (rumah ibadah) menjadi perdebatan ulama. Ada yang membolehkan ada yang tidak. Menurut saya, harus lihat-lihat dulu sebelum membayar zakat: kalau memang di lingkungan sekitar kita banyak orang fakir-miskin, maka lebih baik kita mendahulukan mereka. Mereka tentu lebih membutuhkan. Apalagi pada masa krisis seperti sekarang.

b. Orang Tua?
Tidak boleh. Karena orang tua menjadi tanggungan si pembayar zakat (anak). Selama seseorang itu ada yang menanggung nafkahnya, maka tidak boleh diberi zakat. Seperti istri dan anak tidak boleh dizakati suami dan bapaknya.

c. Adik?
Boleh menurut sebagian besar ulama, sebagian lagi tidak membolehkan. Kelompok pertama beralasan karena adik atau kakak tidak termasuk orang yang menjadi tanggungjawabnnya (orang yg membayar zakat), dan yang kedua berpendapat bahwa saudara (adik atau kakak) termasuk orang yang menjadi tanggungjawab si pembayar zakat. Menurut saya tinggal keadaan: jika si adik itu, sesuai perjanjian, menjadi tanggungjawab kakaknya (karena masih belajar, misal), maka si kakak tidak boleh memberikan zakat pada adiknya yang menjadi tanggungannya. Dan jika tidak menjadi tanggungannya, seperti antara kakak dan adik yang telah berumahtangga masing-masing, dan misalnya saja si kakak hidup miskin dan adiknya kaya, maka boleh saja si adik memberikan zakatnya ke kakaknya tersebut. Atau sebaliknya, si kakak yang kaya dan adiknya miskin, maka boleh saja si kakak membayarkan zakatnya ke adiknya yang miskin tsb.

d. Pembantu ataupun orang tuanya yang hidupnya kekurangan? Boleh saja. Namun alasannya bukan karena pekerjaan dia sebagai pembantu, tapi semata-mata karena kekurangan atau kemiskinannya.

e. Kepada seseorang yang menjadi pengurus orang tua asuh yang jelas-jelas biaya tsb sangat diperlukan oleh anak-anak sekolah?
Tidak boleh. Kecuali jika memang pengurus tersebut statusnya sebagai panitia zakat. Misalnya lembaga panti asuhannya telah mengumumkan bahwa lembaganya menerima pembayaran zakat, untuk kemudian disalurkan ke anak asuhnya. Jadi saat membayarkan zakat kepada orang tersebut, harus berdasar kesepakatan bahwa dia menerima zakat atas nama pengurus/panitia zakat panti asuhan tersebut. Ini untuk menghindari penyalahgunaan zakat.

f. Yayasan Yatim Piatu?
Boleh. Asal jelas bahwa yayasan tersebut menyalurkan hasil zakat kepada para anak asuhnya atau orang lain yang berhak menerima zakat. Jadi ada panitia yang telah ditunjuk untuk menangani penerimaan zakat.

g. Tukang sampah / kebun?
Boleh saja, asal dia tergolong orang miskin. Jadi, sekali lagi, penerima zakat itu tidak dipandang dari pekerjaannya, namun dari keberadaannya, miskin atau tidak. Sehingga jika ada seorang tukang sampah/kebun atau pembantu rumah tangga, namun ternyata kehidupannya kecukupan, ya tidak boleh menerima zakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar