Perang Ambalat? Kita Bisa Kalah!
Andi Widjajanto; Pengajar Perang dan Damai FISIP-UI, Jakarta
PENGERAHAN Angkatan Tentera Malaysia di Blok Ambalat, Laut Sulawesi, tidak dapat dilepaskan dari program pembangunan pertahanan Malaysia yang
telah berlangsung sejak awal 1990. Persiapan strategis Malaysia untuk
menggelar pasukannya merupakan wujud keberhasilan program Sixth Malaysia
Plan (1990-1995) saat Malaysia mengalokasikan US$2,4 miliar untuk
pemenuhan kebutuhan pertahanan. Pengeluaran belanja militer di periode ini meliputi pembelian 8 F/A-18 Hornet serta 18 MiG-29 Fulcrum. Di
periode ini, Malaysia juga membelanjakan US$159 juta untuk pembelian
radar pertahanan udara serta pembangunan fasilitas-fasilitas Angkatan Laut.
Program tersebut dilanjutkan dalam Seventh Malaysia Plan (1996-2000).
Program lanjutan ini diarahkan untuk mengubah titik berat strategi
pertahanan Malaysia dari counter-guerellia dan counter-insurgency ke arah pembentukan Tentera Malaysia modern. Hal ini ditandai dengan
transformasi AD Malaysia menjadi Rapid Deployment Force (RDF) yang dilengkapi dengan
peralatan tempur darat, seperti 300 tank tempur utama (T-72, T90, dan
T-80 (Rusia); Mk3M (Inggris) Leopard IA5 (Jerman), dan K1A1 (Korea
Selatan). Untuk mendukung pembentukan RDF, Tentera Udara Diraja Malaysia
diperkuat dengan pembelian sistem pertahanan rudal,
30 helikopter tempur, 16-18 pesawat tempur baru seperti F/A-18E/F
Super
Hornet, atau Su-30MKM dan MiG-29MRCA. Tentera Laut Diraja Malaysia juga
sedang berbenah dengan rencana pembelian senilai US$2,2 miliar untuk 27
kapal perang beragam jenis untuk melengkapi 56 kapal perang yang saat ini
telah dimiliki Malaysia. Malaysia juga sedang membangun 15 pangkalan laut
baru. Pangkalan terbesar yang akan dibangun berada di Teluk Sepanggar (25
km dari Kota Kinibalu, Sabah) yang akan berfungsi sebagai Markas Komando
Armada Timur Tentera Laut Diraja Malaysia.
Pembangunan pertahanan Malaysia tersebut akhirnya memungkinkan Malaysia
untuk menjalankan skenario war-game fiktif sebagai berikut: pada 3
September 2005, Malaysia menyerang Indonesia dengan satu tujuan utama
menguasai dan mengendalikan seluruh pulau yang ada di Blok Ambalat.
Serangan ini dilakukan dengan cara merebut dan menduduki pangkalan aju,
dan melakukan serangan udara terbatas atas kompartemen-kompartemen TNI
strategis di Kalimantan Timur. Untuk melakukan serangan ini, Tentera Laut
Diraja Malaysia akan melakukan operasi laut gabungan yang akan dilakukan
oleh Armada Laut II yang berpusat di Teluk Sepanggar.
Operasi laut gabungan ini akan disusul dengan operasi pendaratan pantai
serta operasi amfibi dengan kekuatan 2 brigade pendarat yang terdiri dari 7.200 personel. Kekuatan 2 brigade ini akan berasal dari Komando Wilayah
Timur Tentera Darat Diraja Malaysia yang memiliki total kekuatan 1 divisi
Tentera Darat. Komando Wilayah Timur ini bertugas untuk mempertahankan Sabah, Serawak, dan Wilayah Federal Labuan. Operasi amfibi ini
didukung oleh operasi lintas udara dengan kekuatan 1 brigade Linud yang terdiri dari 2.400 personel. Operasi lintas udara ini akan mendapat dukungan
> udara dari Skuadron 5, 7, dan 8 yang berkedudukan di Labuan,
Sabah, serta Kuching, Sarawak. Skuadron 5,7, dan 8 mengandalkan 3 skuadron pesawat Hawk yang dapat saja didukung oleh kekuatan 2 skuadron
MiG-29 dan 2 skuadron F/A-18 dari Skuadron 6 (Kuantan) dan Skuadron 9 (Kuantan).
Untuk menangkal serangan ini, TNI melakukan pre-emptive strike dengan mengerahkan tiga kekuatan pemukul dalam suatu operasi militer
gabungan.
Operasi ini bertujuan untuk menghancurkan kuatan militer Malaysia di basisnya. Kekuatan pertama adalah kekuatan udara dari Koopsau I yang
terdiri dari 1 Skuadron Pekan Baru, 1 Skuadron Halim, dan Paskhasau.
Kekuatan kedua adalah kekuatan laut Armada Timur (Surabaya) yang dapat
mengerahkan 2 kapal selam (SSK 2 Cakra), dan 10 frigates (7 FFG 10 dan 3 FF 7), dan 12.000 pasukan marinir. Kekuatan ketiga adalah satuan pasukan
khusus Angkatan Darat yang terdiri dari 2 grup Kopassus dan 1 divisi tempur Kostrad.
Jika pre-emptive strike di daerah penyangga (Zona I) ini gagal, maka TNI akan menggelar operasi laut gabungan dengan tiga tujuan yaitu (1)
menghancurkan kekuatan militer musuh dalam perjalanan, termasuk yang ada di pangkalan aju; mengendalikan laut teritorial di Blok Ambalat dan 3)
mencegah kekuatan militer musuh masuk ke wilayah darat Indonesia.
Operasi laut gabungan di Zona II (daerah pertahanan utama) ini juga harus dapat
menangkal serangan-serangan rudal Malaysia ke lokasi-lokasi strategis di Indonesia. Operasi di Zona II ini akan mengandalkan 40% dari 111 KRI
yang layak layar dari berbagai jenis.
Kegagalan operasi laut gabungan di Zona II akan memaksa Indonesia untuk
melakukan operasi matra darat di Zona III (daerah perlawanan) yang terutama terdiri dari operasi pertahanan pantai, operasi darat gabungan, operasi pertahanan wilayah, serta operasi pertahanan antiserbuan linud.
Tujuan dari operasi Zona III ini adalah untuk menghancurkan dan melemparkan kekuatan militer musuh ke luar wilayah RI. Untuk dapat melakukan operasi matra darat di Zona III, Indonesia harus memiliki kekuatan perlawanan darat yang signifikan di pulau-pulau yang ada di Blok Ambalat.
War Game di atas, walaupun bersifat fiktif, menunjukkan adanya beberapa kelemahan dari strategi pertahanan Indonesia. Tulisan ini tidak
bermaksud untuk menjabarkan seluruh kelemahan tersebut, namun hanya akan membeberkan beberapa kelemahan yang terkait dengan gelar postur pertahanan Indonesia.
Kelemahan pertama adalah pola pembagian Zona Pertahanan I (Penyangga), II
(Pertahanan Utama) dan III (Perlawanan) yang dikenal selama ini tidak dapat diaplikasikan terutama karena TNI tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menggelar operasi militer di Zona I (di luar ZEE hingga wilayah musuh) dan Zona II (di perairan teritorial Indonesia). War Game di atas jelas menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan kemampuan militer modern seperti long and middle range strike bombers, aircraft carriers, large-scale and long-range amphibious assault, dan medium range attack submarines yang dibutuhkan untuk menggelar operasi militer gabungan di Zona I.
Kemampuan yang menjadi kunci modernisasi pertahanan negara-negara di Asia Timur untuk dekade 2000-2010 tersebut saat ini tidak dimiliki dan belum dirancang dimiliki oleh Koopsau I-II maupun Armada Barat dan Timur.
Kelemahan kedua adalah gelar postur pertahanan Indonesia saat ini tidak disertai dengan pembagian kompartemen wilayah pertahanan yang emadukan
kekuatan integratif AD, AL, AU. Kompartemen-kompartemen wilayah pertahanan ini dapat ibentuk dengan satu pertimbangan utama yaitu
menangkal kemungkinan serangan dari luar. Dengan demikian, untuk menangkal negara-negara di kawasan Asia Timur-Tenggara, Indonesia membutuhkan minimal 4 kompartemen wilayah pertahanan. Kompartemen tersebut secara geostrategis terbentuk karena Indonesia memiliki 3
alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang embelah Indonesia menjadi 4 kompartemen, yaitu partemen I Sumatra yang terbentuk oleh ALKI Laut China Selatan-Selat Malaka-Selat Sunda, Kompartemen II
Kalimantan yang terbentuk oleh ALKI Laut Sulawesi-Selat Lombok,Kompartemen III Sulawesi-Nusa Tenggara yang terbentuk oleh ALKI Laut
Arafuru-Celah Timor, dan Kompartemen IV Maluku-Papua yang berada di sebelah timur ALKI Laut Arafuru-Celah Timor.
Dua kelemahan tersebut mengarahkan kita untuk mengambil kesimpulan bahwa perlu dilakukan modifikasi gelar postur pertahanan Indonesia terutama karena sistem ini tidak sesuai dengan strategi pertahanan negara yang telah embangkan. Modifikasi ini perlu segera dilakukan berdasarkan
kaji ulang strategi pertahanan negara yang saat ini sedang dilakukan oleh Departemen Pertahanan. Kasus Blok Ambalat menunjukkan bahwa tuntutan
UU 34/2004 tentang gelar TNI perlu segera ujudkan. Tuntutan tersebut adalah lakukan modifikasi gelar pertahanan sehingga kekuatan TNI terfokus
digelar di daerah konflik, perbatasan, wilayah terpencil, serta pulau-pulau paling luar.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar