Jumat, 02 Desember 2011

UNDANG-UNDANG MENGENAI PAJAK PENGHASILAN UU No 10 Tahun 1994)

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH
UNDANG-UNDANG MENGENAI PAJAK PENGHASILAN


BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 (UU No 10 Tahun 1994)
Pajak Penghasilandikenakan terhadap Subyek Pajak atas Penghasilan yang diterima ataudiperolehnya dalam tahun pajak.
Penjelasan Pasal 1
Undang-undang inimengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap Subjek Pajak berkenaan denganpenghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek Pajaktersebut dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalamUndang-undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajakdikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satutahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagiantahun pajak, apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalamtahun pajak.
Yang dimaksud dengan tahun pajakdalam Undang-undang ini adalah tahun takwim, namun Wajib Pajak dapat menggunakantahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun buku tersebutmeliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
BAB II
SUBYEK PAJAK

Pasal 2
(1)
Yang menjadi Subyek Pajak adalah:
  a.
1)
orang pribadi; (UU No 10 Tahun 1994)
2)
warisan yang belum terbagisebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; (UU No 10 Tahun 1994)
  b.
badan, (UU No 17 Tahun 2002)
  c.
bentuk usaha tetap. (UU No 10 Tahun1994)
(2)
Subyek pajak terdiri dari Subyek Pajakdalam negeri dan Subyek Pajak luar negeri. (UU No 7 Tahun 1983)
(3)
Yang dimaksud dengan Subyek Pajakdalam negeri adalah :
  a.
orang pribadi yang bertempattinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesiadan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; (UU No 10 Tahun1994)
  b.
badan yang didirikan ataubertempat kedudukan di Indonesia;(UU No 7 Tahun 1983)
  c.
warisan yang belum terbagi sebagai satukesatuan, menggantikan yang berhak. (UU No 10 Tahun 1994)
(4)
Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajakluar negeri adalah : (UU No 10 Tahun 1994)
  a.
orang pribadi yang tidakbertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, danbadan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yangmenjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap diIndonesia;
  b.
orang pribadi yang tidakbertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesiayang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan darimenjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap diIndonesia.
(5)
Yang dimaksud dengan bentuk usahatetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempattinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratusdelapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badanyang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untukmenjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :(UU No 10 Tahun 1994)
a.
tempat kedudukan manajemen;
b.
cabang perusahaan;
c.
kantor perwakilan;
d.
gedung kantor;
e.
pabrik;
f.
bengkel;
g.
pertambangan dan penggaliansumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasipertambangan;
h.
perikanan, peternakan,pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i.
proyek konstruksi, instalasi,atau proyek perakitan;
j.
pemberian jasa dalam bentukapapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60(enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
k.
orang atau badan yang bertindakselaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
l.
agen atau pegawai dari perusahaanasuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi ataumenanggung resiko di Indonesia.
(6)
Tempat tinggal orang pribadi atautempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurutkeadaan yang sebenarnya. (UU No 17 Tahun 2000)
Penjelasan Pasal 2
Ayat (1)
Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yangbelum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap.
Huruf a
Orang pribadi sebagai Subjek Pajakdapat bertempat tinggal atau berada di Indonesiaataupun di luar Indonesia. Warisan yangbelum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti,menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukanwarisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agarpengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapatdilaksanakan.
Huruf b
Sebagaimanadiatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan,pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuanbaik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroanterbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negaraatau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, danapensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosialpolitik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentukbadan lainnya termasuk reksadana. Dalam Undang-undang ini(lihat huruf c berikut), bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajaktersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuanperpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan PajakPenghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidaktermasuk dalam pengertian badan.
Badan Usaha MilikNegara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama danbentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnyalembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat danPemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untukmemperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak.
Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikuttidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu:
1)
dibentuk berdasarkanperaturan perundang-undangan yang berlaku;
2)
dibiayai dengan dana yangbersumber dari APBN atau APBD;
3)
penerimaan lembagatersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan
4)
pembukuannya diperiksa olehaparat pengawasan fungsional negara.
Sebagai Subjek Pajak, perusahaanreksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya termasukdalam pengertian badan.
Dalam pengertianperkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan daripihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Huruf c
Lihatketentuan dalam ayat (5) dan penjelasannya.
Ayat (2)
SubjekPajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalamnegeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilanyang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajakluar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yangditerima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentukusaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain WajibPajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektifdan objektif. Sehubungan dengan pemilikan NPWP, Wajib Pajakorang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu mendaftarkandiri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan yang pentingantara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalampemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a.
Wajib Pajak dalam negeridikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dariIndonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeridikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilandi Indonesia.
b.
Wajib Pajak dalamnegeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum,sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilanbruto dengan tarif pajak sepadan.
c.
Wajib Pajak dalamnegeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untukmenetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajakluar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karenakewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luarnegeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usahatetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan denganpemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalamUndang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada prinsipnya orangpribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yangbertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasukdalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niatuntuk bertempat tinggal di Indonesia.Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurutkeadaan.
Keberadaan orangpribadi di Indonesia lebihdari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut,tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalamjangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Warisan yang belumterbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggapsebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini mengikutistatus pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajibanperpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak.Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajibanperpajakannya beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belumterbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeriyang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usahatetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karenapengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekatpada objeknya.
Ayat (4)
Huruf a dan huruf b
Subjek Pajak luarnegeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempatkedudukan di luar Indonesiayang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupuntanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) haridalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah SubjekPajak luar negeri.
Apabila penghasilanditerima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadiatau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orangpribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengandemikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badansebagai Subjek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia.
Dalamhal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknyadilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanyasuatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanahdan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
Tempat usaha tersebutbersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatandari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikandan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usahatetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannyatidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orangpribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukandi Indonesia.Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dantidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentukusaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankanusaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atauperantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannyabertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikandan bertempat kedudukan di luar Indonesiadianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesiaapabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggungrisiko di Indonesia tidakberarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia.Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggungbertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempattinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkanKantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan ataspenghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.
Padadasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukanmenurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atautempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh DirekturJenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukanbadan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggalkeluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perludipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Pasal 2A (UU No 10 Tahun 1994)
(1)
Kewajiban pajak subjektif orang pribadisebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai pada saat orangpribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal diIndonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesiauntuk selama-lamanya.
(2)
Kewajiban pajak subyektif badansebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai pada saat badantersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saatdibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
(3)
Kewajiban pajak subyektif orangpribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) huruf adimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha ataumelakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan berakhirpada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentukusaha tetap.
(4)
Kewajiban pajak subyektif orangpribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf bdimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperolehpenghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima ataumemperoleh penghasilan tersebut.
(5)
Kewajiban pajak subyektif warisanyang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka2) dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut danberakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
(6)
Apabila kewajiban pajak subyektiforang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesiahanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebutmenggantikan tahun pajak.
Penjelasan Pasal 2A
Pajak Penghasilanmerupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada SubjekPajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuktidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena itudalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnyakewajiban pajak subjektif menjadi penting.
Ayat (1)
Kewajiban pajaksubjektif orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesiadimulai pada saat ia lahir di Indonesia. Untuk orang pribadi yangberada di Indonesia lebihdari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)bulan, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia.Kewajiban pajaksubjektif orang pribadi berakhir pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkanIndonesiauntuk selama-lamanya.
Pengertian meninggalkanIndonesia untukselama-lamanya harus dikaitkan dengan hal-hal yang nyata pada saat orangpribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat ia meninggalkan Indonesiaterdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesiauntuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi Subjek Pajakdalam negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Bagiorang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak lebihdari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari, dan badan yang tidak didirikan dantidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukankegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap, kewajiban pajaksubjektifnya dimulai pada saat bentuk usaha tetap tersebut berada di Indonesiadan berakhir pada saat bentuk usaha tetap tersebut tidak lagi berada diIndonesia.
Ayat (4)
Orangpribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesiadan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetapdi Indonesia, adalah Subjek Pajak luar negeri sepanjang orang pribadi ataubadan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubunganekonomis dengan Indonesiadianggap ada apabila orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperolehpenghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
Kewajibanpajak subjektif orang pribadi atau badan tersebut dimulai pada saat orangpribadi atau badan mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu menerimaatau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber di Indonesia dan berakhir padasaat orang pribadi atau badan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan ekonomisdengan Indonesia.
Ayat (5)
Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagidimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut, yaitu padasaat meninggalnya pewaris. Sejak saat itu pemenuhan kewajibanperpajakannya melekat pada warisan tersebut. Kewajibanpajak subjektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada paraahli waris. Sejak saat itu pemenuhan kewajibanperpajakannya beralih kepada para ahli waris.
Ayat (6)
Dapatterjadi orang pribadi menjadi Subjek Pajak tidak untuk jangka waktu satu tahunpajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi Subjek Pajak padapertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanyapada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang darisatu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahunpajak.
Pasal 3
Tidak termasuk Subjek Pajaksebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :
a.
badan perwakilan negara asing; (UUNo 10 Tahun 1994)
b.
pejabat-pejabat perwakilandiplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, danorang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempattinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dandi Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatanatau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikanperlakuan timbal balik; (UU No 17 Tahun 2000)
c.
organisasi-organisasi internasionalyang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat : (UU No 17Tahun 2000)
 
1)
Indonesia menjadi anggota organisasitersebut;
2)
tidak menjalankan usaha ataukegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberianpinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
d.
pejabat-pejabat perwakilan organisasiinternasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syaratbukan warga negara Indonesiadan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untukmemperoleh penghasilan dari Indonesia.(UU No 17 Tahun 2000)
Penjelasan Pasal 3
Huruf a dan huruf b
Sesuai dengankelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabatperwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikansebagai Subjek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai Subjek Pajakbagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilanlain di luar jabatannya atau mereka adalah WargaNegara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabatperwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luarjabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasukSubjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
BAB III
OBYEK PAJAK

Pasal 4
(1)
Yang menjadi Objek Pajak adalahpenghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperolehWajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajakyang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :
a.
penggantian atau imbalanberkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasukgaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uangpensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalamUndang-undang ini; (UU No 10 Tahun 1994)
b.
hadiah dari undian ataupekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; (UU No 10 Tahun 1994)
c.
laba usaha; (UU No 10 Tahun1994)
d.
keuntungan karena penjualanatau karena pengalihan harta termasuk : (UU No 10 Tahun 1994)
 
1)
keuntungan karena pengalihanharta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai penggantisaham atau penyertaan modal;
2)
keuntungan yang diperolehperseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepadapemegang saham, sekutu, atau anggota;
3)
keuntungan karena likuidasi,penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihanusaha;
4)
keuntungan karena pengalihanharta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepadakeluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badankeagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha keciltermasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidakada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antarapihak-pihak yang bersangkutan;
e.
penerimaan kembali pembayaranpajak yang telah dibebankan sebagai biaya; (UU No 10 Tahun 1994)
f.
bunga termasuk premium, diskonto,dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; (UU No 10 Tahun 1994)
g.
dividen, dengan nama dan dalambentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegangpolis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; (UU No 10 Tahun 1994)
h.
royalti; (UU No 10 Tahun 1994)
i.
sewa dan penghasilan lainsehubungan dengan penggunaan harta; (UU No 10 Tahun 1994)
j.
penerimaan atau perolehanpembayaran berkala; (UU No 10 Tahun 1994)
k.
keuntungan karena pembebasan utang,kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan PeraturanPemerintah; (UU No 17 Tahun 2000)
l.
keuntungan karena selisih kursmata uang asing; (UU No 10 Tahun 1994)
m.
selisih lebih karena penilaian kembaliaktiva; (UU No 10 Tahun 1994)
n.
premi asuransi; (UU No 10 Tahun1994)
o.
iuran yang diterima ataudiperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yangmenjalankan usaha atau pekerjaan bebas; (UU No 17 Tahun 2000)
p.
tambahan kekayaan neto yang berasaldari penghasilan yang belum dikenakan pajak. (UU No 10 Tahun 1994)
(2)
Atas penghasilan berupa bungadeposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritaslainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah danatau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diaturdengan Peraturan Pemerintah. (UU No 10 Tahun 1994)
(3)
Yang Tidak termasuk sebagai ObjekPajak adalah :
  a.
1)
bantuan sumbangan, termasuk zakatyang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentukatau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
    2)
harta hibahan yang diterima oleh keluargasedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaanatau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasukkoperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan ;
    sepanjang tidak ada hubungan denganusaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yangbersangkutan;(UU No 17 Tahun 2000)
  b.
warisan; (UU No 7 Tahun 1983)
  c.
harta termasuk setoran tunai yangditerima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf bsebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; (UU No 10Tahun 1994)
  d.
penggantian atau imbalansehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalambentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah; (UU No 10Tahun 1994)
  e.
pembayaran dari perusahaanasuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; (UU No 10 Tahun1994)
  f.
dividen atau bagian laba yangditerima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, daripenyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan diIndonesia dengan syarat : (UU No 17 Tahun 2000)
    1)
dividen berasal dari cadanganlaba yang ditahan; dan
    2)
bagi perseroan terbatas, BadanUsaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen,kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (duapuluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktifdi luar kepemilikan saham tersebut;
  g.
iuran yang diterima ataudiperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh MenteriKeuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; (UU No 10Tahun 1994)
  h.
penghasilan dari modal yangditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalambidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; (UUNo 10 Tahun 1994)
  i.
bagian laba yang diterima ataudiperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atassaham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi; (UU No 10 Tahun1994)
  j.
bunga obligasi yang diterima ataudiperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirianperusahaan atau pemberian ijin usaha; (UU No 10 Tahun 1994)
  k.
penghasilan yang diterima ataudiperoleh perusahaan modal venturaberupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankanusaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
    1)
merupakan perusahaan kecil,menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yangditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
    2)
sahamnya tidak diperdagangkan di bursaefek di Indonesia.(UU No 10 Tahun 1994)
Penjelasan Pasal 4
Ayat (1)
Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilandalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahankemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapunasalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan WajibPajak tersebut.
Pengertian penghasilandalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumbertertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuanekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaikmengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yangdiperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat darimengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapatdikelompokkan menjadi:
-
penghasilan daripekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium,penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dansebagainya;
-
penghasilan dariusaha dan kegiatan;
-
penghasilan dari modal,yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen,royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakanuntuk usaha, dan lain sebagainya;
-
penghasilan lain-lain, sepertipembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya.
Dilihat daripenggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabunguntuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undangini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yangditerima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkandasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satutahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugiantersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal),kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabilasuatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final ataudikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak bolehdigabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
Contoh-contohpenghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelaspengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contohdimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan,seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayaroleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalandalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian,pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah daripertandingan olahraga dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikansehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungandengan penemuan benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebihtinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan,maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam halpenjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya,maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan daripenjualan tersebut adalah harga pasar.
MisalnyaPT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilaisisa buku sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengandemikian keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalahRp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabilamobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah), maka nilai jualmobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00(enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00(dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S, dan bagi pemegang saham yang membelimobil tersebut selisih sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakanpenghasilan.
Apabila suatu badandilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jualberdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan ObjekPajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasardengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran,pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadipengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka keuntunganberupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilaibukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antaraharga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan hartaberupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan bagi pihakyang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarahdalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badanpendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan olehMenteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikanatau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telahdibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakanObjek Pajak.
Sebagai contoh, PajakBumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karenasesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakanpenghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto danimbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atasnilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilainominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yangmenerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegangsaham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasiyang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1)
pembagian laba baik secaralangsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2)
pembayaran kembalikarena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3)
pemberian saham bonusyang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal darikapitalisasi agio saham;
4)
pembagian laba dalambentuk saham;
5)
pencatatan tambahanmodal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6)
jumlah yang melebihi jumlahsetoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembeliankembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7)
pembayaran kembaliseluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahunyang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalahakibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8)
pembayaran sehubungandengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tandalaba tersebut;
9)
bagian labasehubungan dengan pemilikan obligasi;
10)
bagian laba yangditerima oleh pemegang polis;
11)
pembagian berupa sisahasil usaha kepada anggota koperasi;
12)
pengeluaran perusahaan untuk keperluanpribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek seringdijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalamhal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjamankepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabilaterjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkandengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen.Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidakboleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
Huruf h
Padadasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungandengan penggunaan:
1)
hak atas harta tak berwujud,misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasiaperusahaan;
2)
hak atas harta berwujud,misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksuddengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiapperalatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yangdigunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya;
3)
informasi, yaitu informasi yang belumdiungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnyapengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasidimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknyatidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidaktermasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik,ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapatdiberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yangsama.
Huruf i
Dalampengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaanharta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah,dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya"alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secaraberulang-ulang dalam waktu tertentu.
Huruf k
Pembebasan utang olehpihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semulaberutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun demikian, denganPeraturan Pemerintahdapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debiturkecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani(KUT), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnyasampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai Objek Pajak.
Huruf l
Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasikurs mata uang asing atau adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Atas keuntunganyang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing, pengenaan pajaknyadikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak dengan syaratdilakukan secara taat asas.
Huruf m
Selisihlebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19merupakan penghasilan.
Huruf n
Dalampengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
Huruf o
Cukup jelas
Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasipenghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak sertayang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahankekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajakdan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakanpenghasilan.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuandalam ayat (1), penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek,penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, sertapenghasilan tertentu lainnyamerupakanObjek Pajak. Tabungan masyarakat yang disalurkan melalui perbankan dan bursaefek merupakan sumber dana bagi pelaksanaanpembangunan, sehingga pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal daritabungan masyarakat tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalampengenaan pajaknya.
Pertimbangan-pertimbangan yang mendasaridiberikannya perlakuan tersendiri dimaksud antara lainadalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalampengenaan pajaknya serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Pertimbangan tersebut juga mendasari perlunya pemberian perlakuantersendiri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan dari pengalihan hartaberupa tanah dan atau bangunan, serta jenis-jenis penghasilan tertentu lainnya.Oleh karena itu pengenaan Pajak Penghasilan termasuk sifat, besarnya, dan tatacara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut diatur tersendiri dengan PeraturanPemerintah.
Denganmempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidakmenambah beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat JenderalPajak, maka pengenaan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifatfinal.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbanganbagi pihak yang menerima bukan merupakan Objek Pajak sepanjang diterima tidakdalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atauhubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterimaoleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan olehPemerintah dan para penerima zakat yang berhak diperlakukan samaseperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan zakatadalah zakat sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentangPengelolaan Zakat.
Hubungan usaha antarapihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagaiprodusen suatu jenis barang yang bahan bakuutamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan ObjekPajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Objek Pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garisketurunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikanatau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yangditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangkahubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaanantara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yangditerima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karenaharta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, makaberdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan ObjekPajak.
Huruf d
Penggantianatau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaanatau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang.Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras,gula dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan seperti penggunaanmobil, rumah, fasilitas pengobatan dan lain sebagainya, bukan merupakan ObjekPajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura ataukenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenakan PajakPenghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilanberdasarkan norma penghitungan khusus deemed profit,maka imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilanbagi yang menerima atau memperolehnya.
Misalnya, seorangpenduduk Indonesia menjadipegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebutmemperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatiktersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatantersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilandiplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.
Huruf e
Penggantian atau santunan yangditerima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polisasuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, danasuransi bea siswa, bukan merupakan Objek Pajak. Halini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premiasuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinyatidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Huruf f
Berdasarkan ketentuanini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi pajak danditerima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,koperasi, dan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, daripenyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukandi Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen),dan penerima dividen tersebut memperoleh penghasilan dari usaha riil di luarpenghasilan yang berasal dari penyertaan tersebut, tidak termasuk Objek Pajak. Yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha MilikDaerah dalam ayat ini antara lain adalah perusahaan perseroan (Persero), bankpemerintah, bank pembangunan daerah, dan Pertamina.
Perluditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajakselain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negerimaupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenisdan sebagainya, maka penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetapmerupakan Objek Pajak.
Huruf g
Pengecualiansebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahandari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajakadalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupunyang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari pesertapensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak parapeserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai ObjekPajak.
Huruf h
Sebagaimanatersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuanini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannyatelah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yangdikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yangditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan pemupukan dana untukpembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanamanmodal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifatspekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itupenentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan MenteriKeuangan.
Huruf i
Untukkepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuanini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan,yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagianlaba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan ObjekPajak.
Huruf j
Perusahaan reksadanaadalah perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan investasi, investasikembali, atau jual beli sekuritas. Bagi pemodal khususnyapemodal kecil, perusahaan reksadana merupakan salah satu pilihan yang amanuntuk menanamkan modalnya.
Dalam rangka mendorongtumbuhnya perusahaan reksadana, maka bunga obligasi yang diterima olehperusahaan reksadana dikecualikan sebagai Objek Pajak selama lima tahun pertamasejak perusahaan reksadana tersebut didirikan atau sejak diperolehnya izinusaha.
Huruf k
Perusahaan modal ventura adalah suatuperusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasanganusaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu.Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dariperusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai Objek Pajak, dengan syaratperusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah, atauyang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentuyang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidakdiperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaanmodal ventura memenuhiketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf f, maka dividen yangditerima atau diperoleh perusahaan modal venturabukan merupakan Objek Pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal venturadapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritasuntuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor non migas, maka usahaatau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh MenteriKeuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatifpembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, maka penyertaan modal yang akandilakukan oleh perusahaan modal venturadiarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
Pasal 5 (UU No 10 Tahun 1994)
(1)
Yang menjadi Obyek Pajak bentukusaha tetap adalah :
a.
penghasilan dari usaha ataukegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki ataudikuasai;
b.
penghasilan kantor pusat dariusaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yangdijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
c.
penghasilan sebagaimana tersebut dalamPasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapathubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yangmemberikan penghasilan dimaksud.
(2)
Biaya-biaya yang berkenaan denganpenghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c bolehdikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap.
(3)
Dalam menentukan besarnya labasuatu bentuk usaha tetap :
 
a.
biaya administrasi kantor pusatyang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan denganusaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan olehDirektur Jenderal Pajak;
b.
pembayaran kepada kantor pusatyang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah :
 
1)
royalti atau imbalan lainnyasehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;
2)
imbalan sehubungan denganjasa manajemen dan jasa lainnya;
3)
bunga, kecuali bunga yangberkenaan dengan usaha perbankan;
c.
pembayaran sebagaimana tersebut padahuruf b yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggapsebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usahaperbankan."
Penjelasan Pasal 5
Orangpribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidakbertempat kedudukan di Indonesiayang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetapdi Indonesia, dikenakan pajakdi Indonesiamelalui bentuk usaha tetap tersebut.
Ayat (1)
Huruf a
Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yangberasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikiansemua penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.
Huruf b
Berdasarkan ketentuanini penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualanbarang dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usahatetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada hakekatnyausaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatandan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap.
Usaha atau kegiatanyang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, misalnya terjadiapabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap diIndonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk usahatetapnya kepada perusahaan di Indonesia.
Penjualan barang yangsejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantorpusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan produkyang dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melaluibentuk usaha tetapnya kepada pembeli di Indonesia.
Pemberian jasa olehkantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk usaha tetap,misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesiamemberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usahatetapnya kepada klien di Indonesia.
Huruf c
Penghasilan sepertidimaksud dalam Penjelasan Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetapdi Indonesia,apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikanpenghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut.
Misalnya, X Inc.menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk mempergunakan merek dagang X Inc.Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT Y.Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemenkepada PT Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangkapemasaran produk PT Y yang mempergunakan merek dagang tersebut. Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyaihubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itupenghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagaipenghasilan bentuk usaha tetap.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Biaya-biayaadministrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusatsepanjang digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia,boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap tersebut. Jenis serta besarnya biaya yang boleh dikurangkan tersebutditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Huruf b dan huruf c
Pada dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan dengan kantorpusatnya, sehingga pembayaran oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya,seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran danadalam satu perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini pembayaranbentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya beruparoyalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilanbentuk usaha tetap. Namun apabila kantor pusat danbentuk usaha tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaranberupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya.
Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut,pembayaran-pembayaran yang sejenis yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya tidak dianggap sebagai Objek Pajak, kecualibunga yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya yang berkenaandengan usaha perbankan.
Pasal 6
(1)
Besarnya Penghasilan Kena Pajakbagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkanpenghasilan bruto dikurangi :
  a.
biaya untuk mendapatkan, menagih,dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaandengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa,royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biayaadministrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan; (UU No 17 Tahun 2000)
  b.
penyusutan atas pengeluaran untukmemperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperolehhak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahunsebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A; (UU 10 Tahun 1994)
  c.
iuran kepada dana pensiun yangpendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; (UU 10 Tahun 1994)
  d.
kerugian karena penjualan ataupengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yangdimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; (UU 10 Tahun1994)
  e.
kerugian dari selisih kurs matauang asing; (UU No 17 Tahun 2000)
  f.
biaya penelitian dan pengembanganperusahaan yang dilakukan di Indonesia;(UU 10 Tahun 1994)
  g.
biaya bea siswa, magang, danpelatihan; (UU 10 Tahun 1994)
  h.
piutang yang nyata-nyata tidak dapatditagih, dengan syarat : (UU No 17 Tahun 2000)
1)
telah dibebankan sebagai biayadalam laporan laba rugi komersial;
2)
telah diserahkan perkarapenagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan LelangNegara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusanpiutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
3)
telah dipublikasikan dalampenerbitan umum atau khusus; dan
4)
Wajib Pajak harus menyerahkandaftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak,yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut denganKeputusan Direktur Jenderal Pajak.
(2)
Apabila penghasilan bruto setelahpengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, makakerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajakberikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. (UU No 17 Tahun 2000)
(3)
Kepada orang pribadi sebagaiWajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak KenaPajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (UU No 10 Tahun 1994)
Penjelasan Pasal 6
Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkandari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban ataubiaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yangmempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyaimasa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biayaadministrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya. Sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melaluiamortisasi. Disamping itu apabila dalam suatu tahunpajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, makakerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya-biayayang dimaksud dalam ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang bolehdibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankansebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubunganlangsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memeliharapenghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Dengan demikianpengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilanyang bukan merupakan Objek Pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Contoh:
Dana Pensiun A yangpendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperolehpenghasilan bruto yang terdiri dari:
a.
penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak
sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf hsebesar
Rp 100.000.000,00
b.
penghasilan bruto lainnya sebesar
Rp 300.000.000,00
  Jumlah penghasilan bruto
Rp 400.000.000,00
Apabila seluruh biayaadalah sebesar Rp 200.000.000,00, maka biaya yang bolehdikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalahsebesar 3/4 x Rp200.000.000,00 = Rp150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakanuntuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yangditerimanya tidak merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat(3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapatdikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaranyang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, danmemelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluanpribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untukkeperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentinganpribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pembayaranpremi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankansebagai biaya perusahaan, namun bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebutmerupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaransehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harusdilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukandalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengancuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerimaatau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun demikian, pengeluarandalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerimaatau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaranyang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajarantersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka jumlah yang melampaui bataskewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Selanjutnya lihat ketentuandalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya.
Pajak-pajak yangmenjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan,misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel danRestoran, dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenaipengeluaran untuk promosi, perlu dibedakan antara biaya yang benar-benardikeluarkan untuk promosi dengan biaya yang pada hakekatnya merupakansumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untukpromosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf b
Pengeluaran-pengeluaranuntuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.
Selanjutnyalihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A besertapenjelasannya.
Pengeluaran yangmenurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapatahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
Huruf c
Iurankepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkanoleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yangdibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan olehMenteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Huruf d
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yangmenurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yangdimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untukmendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan daripenghasilan bruto.
Kerugian karenapenjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalamperusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan,menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilanbruto.
Huruf e
Kerugian karena selisih kurs matauang asing dapat disebabkan oleh adanya fluktuasi kurs yang terjadisehari-hari, atau oleh adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Kerugian selisihkurs mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs, pembebanannyadilakukan berdasarkan sistem pembukuan yang dianut, dan harus dilakukan secarataat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistempembukuan berdasarkan kurs tetap (kurs historis), pembebanan kerugian selisihkurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata uang asingtersebut.
Apabila Wajib Pajak menggunakansistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesiaatau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebanannya dilakukanpada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnyaberlaku pada akhir tahun.
Rugiselisih kurs karena kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter dapat dibukukandalam perkiraan sementara di neraca dan pembebanannya dilakukan bertahapberdasarkan realisasi mata uang asing tersebut.
Huruf f
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yangdilakukan di Indonesiadalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagipengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Huruf g
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magangdan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapatdibebankan sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan kewajaran dankepentingan perusahaan.
Huruf h
Piutang yang nyata-nyata tidakdapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telahmengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukanupaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.
Yangdimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional,namun dapat juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.
Tata cara pelaksanaanpersyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini diatur lebih lanjut oleh DirekturJenderal Pajak.
Ayat (2)
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankanberdasarkan ketentuan dalam ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan brutodidapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilanneto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulaisejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Contoh:
PT A dalam tahun 1995 menderitakerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000,00. Dalam 5 (lima) tahun berikutnyalaba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
1996 : laba fiskal
Rp 200.000.000,00
1997 : rugi fiskal
(Rp 300.000.000,00)
1998 : laba fiskal
Rp NI H I L
1999 : laba fiskal
Rp 100.000.000,00
2000 : laba fiskal
Rp 800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukansebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 1995
(Rp1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1996
Rp 200.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995
(Rp1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1997
(Rp 300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 1995
(Rp1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1998
Rp N I H I L (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995
(Rp1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1999
Rp 100.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995
(Rp 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2000
Rp 800.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995
(Rp 100.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp 100.000.000,00yang masih tersisa pada akhir tahun 2000 tidak boleh dikompensasikan lagidengan laba fiskal tahun 2001, sedangkan rugi fiskal tahun 1997 sebesar Rp300.000.000,00 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2001 dantahun 2002, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 1998berakhir pada akhir tahun 2002.
Ayat (3)
Dalam menghitung Laba Kena PajakWajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupaPenghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 7.
Pasal 7
(1)
Penghasilan Tidak Kena Pajakdiberikan sebesar : (UU No 17 Tahun 2000)
a.
Rp 2.880.000,00 (dua juta delapanratus delapan puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b.
Rp 1.440.000,00 (satu jutaempat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c.
Rp 2.880.000,00 (dua jutadelapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yangpenghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalamPasal 8 ayat (1);
d.
Rp 1.440.000,00(satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiapanggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurusserta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3(tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2)
Penerapan ayat (1) ditentukan olehkeadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. (UU No 10 Tahun1994)
(3)
Penyesuaian besarnya PenghasilanTidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan denganKeputusan Menteri Keuangan. (UU No 17 Tahun 2000)
Penjelasan Pasal 7
Ayat (1)
Untuk menghitung besarnyaPenghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlahPenghasilan Tidak Kena Pajak. Disamping untuk dirinya, kepada WajibPajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinyamenerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, makaWajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untukseorang isteri sebesar Rp 2.880.000,00 (dua jutadelapan ratus delapan puluh ribu rupiah).
Wajib Pajak yangmempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yangmenjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, anakangkat, diberikan tambahan PenghasilanTidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengananggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluargayang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung olehWajib Pajak.
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat)orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerjayang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak adahubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, maka besarnyaPenghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesarRp 8.640.000,00 {Rp 2.880.000,00 + Rp 1.440.000,00 + (3 x Rp 1.440.000,00)}.Sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 olehpemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp2.880.000,00. Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilansuami, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada WajibPajak A adalah sebesar Rp11.520.000,00 (Rp8.640.000,00+ Rp 2.880.000,00).
Ayat (2)
Penghitungan besarnyaPenghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukanmenurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahunpajak.
Misalnya,pada tanggal 1 Januari 2001 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1(satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2001,maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak Buntuk tahun pajak 2001 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu)anak.
Ayat (3)
Berdasarkanketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnyaPenghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) denganmempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan hargakebutuhan pokok setiap tahunnya.
Pasal 8 (UU No 10 Tahun 1994)
(1)
Seluruh penghasilan atau kerugianbagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagiantahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnyayang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggapsebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebutsemata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telahdipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidakada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluargalainnya.
(2)
Penghasilan suami-isteridikenakan pajak secara terpisah apabila :
a.
suami-isteri telah hidupterpisah;
b.
dikehendaki secara tertulis oleh suami-istriberdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
(3)
Penghasilan netto suami-isterisebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikenakan pajak berdasarkanpenggabungan penghasilan neto suami-isteri, dan besarnya pajak yang harusdilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandinganpenghasilan netto mereka.
(4)
Penghasilan anak yang belum dewasadigabung dengan penghasilan orang tuanya, kecuali penghasilan dari pekerjaanyang tidak ada hubungannya dengan usaha orang yang mempunyai hubunganistimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf c.
Penjelasan Pasal 8
Sistempengenaan pajak berdasarkan Undang-undang ini menempatkan keluarga sebagai satukesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggotakeluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenakan pajak dan pemenuhankewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun,dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secaraterpisah.
Ayat (1)
Penghasilanatau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awalbagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dandikenakan pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukandalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yangtelah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
a.
penghasilan isteritersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
b.
penghasilan isteri tersebutberasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaanbebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak A, yangmemperoleh penghasilan dari usaha sebesar Rp100.000.000,00mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan sebesar Rp50.000.000,00. Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberikerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidakada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, makapenghasilan sebesar Rp50.000.000,00 tidak digabung dengan penghasilan A danpengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.
Apabila selain menjadipegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan denganpenghasilan sebesar Rp 75.000.000,00, maka seluruh penghasilan isteri sebesarRp 125.000.000,00 (Rp 50.000.000,00 + Rp75.000.000,00)digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut A dikenakanpajak atas penghasilan sebesar Rp225.000.000,00 (Rp100.000.000,00 +Rp50.000.000,00 + Rp 75.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteritidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutangatas penghasilan sebesar Rp225.000.000,00 tersebutyang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (2) dan ayat (3)
Dalamhal suami-isteri telah hidup berpisah, penghitungan Penghasilan Kena Pajak danpengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Namun,apabila suami-isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilansecara tertulis, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahanpenghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebandingdengan besarnya penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan pajak bagisuami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulisadalah sebagai berikut:
Dari contoh pada ayat(1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknyadihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp 225.000.000,00.
Misalnya pajak yangterutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp 56.250.000,00, maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknyadihitung sebagai berikut:
-
Suami :
100.000.000,00
x Rp 56.250.000,00= Rp 25.000.000,00
225.000.000,00
-
Isteri :
125.000.000,00
x Rp 56.250.000,00= Rp 31.250.000,00
225.000.000,00
Ayat (4)
Penghasilananak yang belum dewasa yang tidak digabung dengan penghasilan orang tuanyahanya penghasilan yang berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya denganusaha atau kegiatan dari orang yang mempunyai hubungan istimewa dengan anaktersebut.
Yang dimaksud dengananak yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun danbelum pernah menikah.
Apabila seoranganak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau memperolehpenghasilan maka pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atauibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.
Pasal 9
(1)
Untuk menentukan besarnyaPenghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetaptidak boleh dikurangkan :
a.
pembagian laba dengan nama dan dalambentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan olehperusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usahakoperasi;
b.
biaya yang dibebankan atau dikeluarkanuntuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c.
pembentukan atau pemupukan danacadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewaguna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadanganbiaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dansyarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; (UU No 17Tahun 2000)
d.
premi asuransi kesehatan,asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa,yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar olehpemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi WajibPajak yang bersangkutan; (UU No 10 Tahun 1994)
e.
penggantian atau imbalan sehubungandengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dankenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawaiserta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerahtertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkandengan Keputusan Menteri Keuangan; (UU No 17 Tahun 2000)
f.
jumlah yang melebihi kewajaranyang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyaihubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yangdilakukan; (UU No 10 Tahun 1994)
g.
harta yang dihibahkan, bantuanatau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyatadibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atauWajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islamkepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkanoleh Pemerintah; (UU No 17 Tahun 2000)
h.
Pajak Penghasilan; (UU No 10Tahun 1994)
i.
biaya yang dibebankan ataudikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjaditanggungannya; (UU No 10 Tahun 1994)
j.
gaji yang dibayarkan kepadaanggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidakterbagi atas saham; (UU No 10 Tahun 1994)
k.
sanksi administrasi berupa bunga,denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaanperundang-undangan di bidang perpajakan. (UU No 10 Tahun 1994)
(2)
Pengeluaran untuk mendapatkan,menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkandibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalamPasal 11 atau Pasal 11 A. (UU No 10 Tahun 1994)
Penjelasan Pasal 9
Ayat (1)
Pengeluaran-pengeluaranyang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh danyang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pada prinsipnya biaya yang bolehdikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubunganlangsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memeliharapenghasilan yang merupakan Objek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalamtahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan brutomeliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yangjumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a
Pembagianlaba dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilikmodal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayarandividen oleh perusahaan asuransi kepadapemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yangmembagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilanbadan tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
Huruf b
Tidak dapat dikurangkan daripenghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan ataudibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutuatau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premiasuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegangsaham atau keluarganya.
Huruf c
Pembentukan ataupemupukan dana cadangan pada prinsipnya tidak dapatdibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Namun untukjenis-jenis usaha tertentu yang secara ekonomis memang diperlukan adanyacadangan untuk menutup beban atau kerugian yang akan terjadi di kemudian hari,yang terbatas pada piutang tak tertagih untuk usaha bank, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi dan cadangan biaya reklamasiuntuk usaha pertambangan, maka perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan pembentukan dana cadangan yangketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan MenteriKeuangan.
Huruf d
Premi untuk asuransikesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orangpribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orangpribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaantersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Apabilapremi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagipemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagipegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Huruf e
Sebagaimanatelah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalandalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Objek Pajak. Selarasdengan hal tersebut maka dalam ketentuan ini, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukanmerupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.Namun, dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk mendorongpembangunan di daerah terpencil, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan,penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikanberkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut, boleh dikurangkandari penghasilan bruto pemberi kerja.
Dalam hal pemberiankepada pegawai berupa penyediaan makanan/minuman ditempat kerja bagi seluruhpegawai, secara bersama-sama, atau yang merupakan keharusan dalam pelaksanaanpekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebutmengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaianseragam petugas keamanan (Satpam), antar jemput karyawan serta penginapan untukawak kapal dan yang sejenisnya, maka pemberian tersebut bukan merupakan imbalanbagi karyawan tetapi boleh dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.
Huruf f
Dalam hubungan pekerjaan,kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, danmemelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalahpengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkanketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankansebagai biaya. Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang sahamdari suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperolehimbalan sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) .
Apabila untuk jasa yangsama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenagaahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.
Huruf g
Berbeda denganpengeluaran hibah, pemberian bantuan, sumbangan dan warisan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang tidak boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak, zakatatas penghasilan boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak. Zakat ataspenghasilan yang dapat dikurangkan tersebut harus nyata-nyata dibayarkan oleh WajibPajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeriyang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembagaamil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalamUndang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan sepanjangberkenaan dengan penghasilan yang menjadi Objek Pajak dapat dikurangkan dalammenghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada tahun zakat tersebutdibayarkan.
Huruf h
Yang dimaksudkan dengan PajakPenghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang olehWajib Pajak yang bersangkutan.
Huruf i
Biayauntuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, padahakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Olehkarena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan brutoperusahaan.
Huruf j
Anggota firma, persekutuan danperseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukansebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikiangaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditeryang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang bolehdikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesuai dengan kelaziman usaha,pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun,pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebutberperan terhadap penghasilan. Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluarandengan penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagihdan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahunpengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masamanfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
Pasal 10 (UU No 10 Tahun 1994)
(1)
Harga perolehan atau harga penjualandalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewasebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnyadikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewaadalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.
(2)
Nilai perolehan atau nilaipenjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnyadikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
(3)
Nilai perolehan atau pengalihan hartayang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnyadikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lainoleh Menteri Keuangan.
(4)
Apabila terjadi pengalihan harta:
a.
yang memenuhi syaratsebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, maka dasarpenilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku dari pihakyang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur JenderalPajak;
b.
yang tidak memenuhi syaratsebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka dasar penilaianbagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.
(5)
Apabila terjadi pengalihan hartasebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, maka dasar penilaianharta bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari hartatersebut.
(6)
Persediaan dan pemakaianpersediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehanyang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yangdiperoleh pertama.
Penjelasan Pasal 10
Ketentuan ini mengatur tentangcara penilaian harta, termasuk persediaan, dalamrangka menghitung penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta dalamperusahaan, menghitung keuntungan atau kerugian apabila terjadi penjualan ataupengalihan harta, dan penghitungan penghasilan dari penjualan barang dagangan.
Ayat (1)
Pada umumnyadalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah hargayang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah hargayang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh hartatersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.
Dalam jual beli yang dipengaruhihubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi pihakpembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihakpenjual nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapatmenyebabkan harga perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkandengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa nilaiperolehan atau nilai penjualan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalahjumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima.
Ayat (2)
Harta yang diperoleh berdasarkantransaksi tukar-menukar dengan harta lain, nilaiperolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkanatau diterima berdasarkan harga pasar.
Contoh:
  PT A
(Harta X)
PT B
(Harta Y)
Nilai sisa buku
Rp 10.000.000,00
Rp 12.000.000,00
Harga pasar
Rp 20.000.000,00
Rp 20.000.000,00
Antara PT A dan PT B terjadipertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran antarapihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta yangdipertukarkan adalah Rp 20.000.000,00 maka jumlah sebesar Rp 20.000.000,00merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan atau nilai penjualan yangseharusnya diterima.
Selisihantara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakankeuntungan yang dikenakan pajak. PT A memperoleh keuntungan sebesarRp10.000.000,00 (Rp20.000.000,00 - Rp10.000.000,00)dan PT B memperoleh keuntungan sebesar Rp8.000.000,00 (Rp20.000.000,00 - Rp12.000.000,00).
Ayat (3)
Padaprinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta yang dialihkandilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan harta tersebutdapat dilakukan dalam rangka pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan,pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha. Selainitu pengalihan tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka likuidasi usaha atausebab lainnya.
Selisihantara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakanpenghasilan yang dikenakan pajak.
Contoh:
PT A danPT B melakukan peleburan dan membentuk badan baru, yaitu PT C. Nilai sisa bukudan harga pasar harta dari kedua badan tersebut adalah sebagai berikut:
  PT A
PT B
Nilai sisa buku
Rp 200.000.000,00
Rp 300.000.000,00
Harga pasar
Rp 300.000.000,00
Rp 450.000.000,00
Padadasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan PT B dalam rangka peleburanmenjadi PT C adalah harga pasar dari harta. Dengan demikian PT Amendapat keuntungan sebesar Rp100.000.000,00(Rp300.000.000,00 - Rp200.000.000,00) dan PT B mendapat keuntungan sebesarRp150.000.000,00 (Rp450.000.000,00 - Rp300.000.00,00). Sedangkan PT Cmembukukan semua harta tersebut dengan jumlah Rp750.000.000,00(Rp 300.000.000,00 + Rp 450.000.000,00).
Namun dalam rangkamenyelaraskan dengan kebijakan di bidang sosial, ekonomi, investasi, moneterdan kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilailain selain harga pasar, yaitu atas dasar nilai sisa buku ("pooling ofinterest"). Dalam hal demikian PT C membukukan penerimaan harta dari PT Adan PT B tersebut sebesar Rp 500.000.000,00 (Rp200.000.000,00 + Rp 300.000.000,00).
Ayat (4)
Dalam hal terjadi penyerahan hartakarena hibah, bantuan, sumbangan yangmemenuhi syarat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a atau warisan, maka nilaiperolehan bagi pihak yang menerima hartaadalah nilai sisa buku harta dari pihak yang melakukan penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan sehingga nilaisisa buku tidak diketahui, maka nilai perolehan atas harta ditetapkan olehDirektur Jenderal Pajak.
Dalam hal terjadipenyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang tidak memenuhi syaratsebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka nilai perolehan bagipihak yang menerima harta adalah harga pasar.
Ayat (5)
Penyertaan WajibPajak dalam permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan setoran tunai atau pengalihanharta.
Ketentuan ini mengaturtentang penilaian harta yang diserahkan sebagai pengganti saham atau penyertaanmodal dimaksud, yaitu dinilai berdasarkan nilai pasar dari harta yang dialihkantersebut.
Contoh:
Wajib Pajak Xmenyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya adalah Rp 25.000.000,00kepada PT Y sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai nominal Rp20.000.000,00.
Harga pasar mesin-mesin bubuttersebut adalah Rp40.000.000,00. Dalam hal ini PT Yakan mencatat mesin bubut tersebut sebagai aktiva dengan nilai Rp 40.000.000,00 dan sebesar nilai tersebut bukan merupakanpenghasilan bagi PT Y.
Selisih antara nilai nominal sahamdengan nilai pasar harta, yaitu sebesar Rp 20.000.000,00(Rp 40.000.000,00 - Rp 20.000.000,00) dibukukan sebagai agio. Bagi Wajib PajakX selisih sebesar Rp 15.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 -Rp 25.000.000,00) merupakan Objek Pajak.
Ayat (6)
Pada umumnya terdapat 3(tiga) golongan persediaan barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan,barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu.
Ketentuanpada ayat ini mengatur bahwa penilaian persediaan barang hanya bolehmenggunakan harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untukpenghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan cararata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama("first-in first-out atau disingkat FIFO"). Sesuai dengan kelaziman, cara penilaian tersebut juga diberlakukan terhadapsekuritas.
Contoh:
1.
Persediaan Awal 100satuan @ Rp 9,00
2.
Pembelian 100 satuan@ Rp 12,00
3.
Pembelian 100 satuan@ Rp 11,25
4.
Penjualan/dipakai 100satuan
5.
Penjualan/dipakai 100satuan
Penghitungan hargapokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan cararata-rata misalnya sebagai berikut:
No. Didapat
Dipakai
Sisa/Persediaan
1


100 @Rp 9.00 = Rp 900.00
2
100 @Rp12.00 = Rp1,200.00

200 @Rp10.50 = Rp2,100.00
3
100 @Rp11.25 = Rp1,125.00

300 @ Rp10.75= Rp3,225.00
4

100 @Rp10.75 = Rp1,075.00
200 @Rp10.75 = Rp2,150.00
5

100 @Rp10.75 = Rp1,075.00
100 @Rp10.75 = Rp1,075.00
Penghitungan harga pokok penjualandan nilai persediaan dengan menggunakan cara FIFO misalnyasebagai berikut:
No.
Didapat
Dipakai
Sisa/Persediaan
1


100 @Rp 9.00 = Rp 900.00
2
100 @Rp12.00 =Rp1,200.00

100 @Rp 9.00 = Rp 900.00
100 @Rp12.00 = Rp1.200.00
3
100 @Rp11.25 = Rp1,125

100 @Rp 9.00 = Rp 900.00
100 @Rp12.00 = Rp1,200.00
100 @Rp11.25 = Rp1,125.00
4

100 @Rp 9.00 = Rp 900.00
100 @Rp12.00 = Rp1,200.00
100 @Rp11.25 = Rp1,125.00
5

100 @Rp12.00 = Rp1,200.00
100 @Rp11.25 = Rp1,125.00
SekaliWajib Pajak memilih salah satu cara penilaianpemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok tersebut, maka untuktahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama.
Pasal 11
(1)
Penyusutan atas pengeluaran untukpembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud,kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha,dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, danmemelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahundilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telahditentukan bagi harta tersebut. (UU No 17 Tahun 2000)
(2)
Penyusutan atas pengeluaran hartaberwujud sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selain bangunan, dapat jugadilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitungdengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhirmasa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukansecara taat asas. (UU No 17 Tahun 2000)
(3)
Penyusutan dimulai pada bulandilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam prosespengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan hartatersebut. (UU No 17 Tahun 2000)
(4)
Dengan persetujuan DirekturJenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai padabulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih,danmemelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulaimenghasilkan. (UU No 17 Tahun 2000)
(5)
Apabila Wajib Pajak melakukanpenilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukanpenilaian kembali aktiva tersebut. (UU No 10 Tahun 1994)
(6)
Untuk menghitung penyusutan, masamanfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut : (UUNo 10 Tahun 1994)
Kelompok Harta Berwujud
Masa Manfaat
Tarif penyusutan sebagaimanadimaksud dalam
Ayat (1)
Ayat (2)
I.
Bukan Bangunan
  Kelompok 1
  Kelompok 2
  Kelompok 3
  Kelompok 4

4 Tahun
8 Tahun
16 Tahun
20 Tahun

25 %
12,5 %
6.25 %
5 %

50 %
25 %
12.5 %
10 %
II.
Bangunan
  Permanen
  Tidak Permanen

20 Tahun
10 Tahun

5 %
10 %
 
(7)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat(1), ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakandalam usaha tertentu, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. (UU No 17Tahun 2000)
(8)
Apabila terjadi pengalihan ataupenarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d ataupenarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku hartatersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantianasuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan padatahun terjadinya penarikan harta tersebut. (UU No 10 Tahun 1994)
(9)
Apabila hasil penggantianasuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti dimasa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesarkerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudiantersebut. (UU No 17 Tahun 2000)
(10)
Apabila terjadi pengalihan hartayang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a danhuruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku hartatersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.(UU No 10 Tahun 1994)
(11)
Kelompok harta berwujud sesuaidengan masa manfaat sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan denganKeputusan Menteri Keuangan. (UU No 17 Tahun 2000)
Penjelasan Pasal 11
Ayat (1) dan ayat (2)
Pengeluaran untukmemperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahunharus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memeliharapenghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluarantersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan.Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanahberstatus hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang pertama kalitidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalamperusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanahtersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnyatanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik atau perusahaanbatu bata.
Yang dimaksud denganpengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna usaha dan hakpakai yang pertama kali adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai dari pihak ketiga danpengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya.Sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakaidiamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.
Metode penyusutan yang dibolehkanberdasarkan ketentuan ini adalah:
a.
dalam bagian-bagianyang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut(metode garis lurus atau straight-line method); atau
b.
dalam bagian-bagian yang menurundengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldomenurun atau declining balance method).
Penggunaan metodepenyusutan atas harta harus dilakukan secara taat azas.
Untuk harta berwujudberupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujudselain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldomenurun.
Dalamhal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku padaakhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Sesuai dengan pembukuanWajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang samaatau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.
Contoh penggunaanmetode garis lurus:
Sebuah gedung yangharga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun,penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp. 5.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 � 20).
Contoh penggunaanmetode saldo menurun:
Sebuah mesin yangdibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2000 dengan harga perolehan sebesarRp 150.000.000,00. Masa manfaat darimesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnyaditetapkan 50% (limapuluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut:
Tahun
Tarif
Penyusutan
Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan
150,000,000.00
2000
50%
75,000,000.00
75,000,000.00
2001
50%
37,500,000.00
37,500,000.00
2002
50%
18,750,000.00
18,750,000.00
2003
Disusutkan sekaligus
18,750,000.00
0
         
Ayat (3) dan ayat (4)
Penyusutan dimulai padabulan dilakukannya pengeluaran, atau pada bulan selesainya pengerjaan suatuharta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata. Namunberdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapatdilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih danmemelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan.
Yang dimaksud denganmulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksidan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.
Contoh1.
Pengeluaran untukpembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp100.000.000,00.Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2000 dan selesai untukdigunakan pada bulan Maret 2001. Penyusutan atas hargaperolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2001.
Contoh2.
Sebuah mesin yangdibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2000 dengan harga perolehan sebesar Rp100.000.000,00. Masa manfaat darimesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnyaditetapkan 50% (limapuluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut:
Tahun
Tarif
Penyusutan
Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan
100,000,000.00
2000
� x 50%
25,000,000.00
75,000,000.00
2001
50%
37,500,000.00
37,500,000.00
2002
50%
18,750,000.00
18,750,000.00
2003
50%
9,375,000.00
9,375,000.00
2004
Disusutkan sekaligus
9,375,000.00
0
Contoh 3.
PT X yangbergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 1999. Perkebunantersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2000. Denganpersetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapatdilakukan mulai tahun 2000.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Untuk memberikankepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaranharta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutanbaik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.
Yang dimaksud denganbangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunanyang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10(sepuluh) tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat darikayu untuk karyawan.
Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikandengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti pertambangan minyakdan gas bumi, perkebunan tanaman keras, perlu diberikan pengaturan tersendiriuntuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam usaha tersebut yangketentuannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (8) dan ayat (9)
Padadasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenakan pajak dalamtahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atauterbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisihantara harga penjualan dengan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualantersebut dan atau penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan padatahun terjadinya penjualan atau tahunditerimanya penggantian asuransi, dannilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahunpajak yang bersangkutan.
Dalam hal penggantianasuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masakemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur JenderalPajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahunpenggantian asuransi tersebut.
Ayat (10)
Menyimpang dariketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), dalam hal pengalihan hartaberwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) hurufa dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian olehpihak yang mengalihkan.
Ayat (11)
Dalamrangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk melakukan penyusutan,Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang termasukdalam setiap kelompok masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak.
Pasal 11A
(1)
Amortisasi atas pengeluaran untukmemperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biayaperpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang mempunyaimasa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan,menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang samabesar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yangdihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebutatau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligusdengan syarat dilakukan secara taat asas. (UU No 17 Tahun 2000)
(2)
Untuk menghitung amortisasi, masamanfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut : (UU No 10 Tahun1994)
Kelompok Harta Tidak Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Amortisasi berdasarkanmetode
Garis Lurus
Saldo Menurun
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
4 Tahun
8 Tahun
16 Tahun
20 Tahun
25 %
12,5 %
6.25 %
5 %
50 %
25 %
12.5 %
10 %
(3)
Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasanmodal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran ataudiamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (UUNo 17 Tahun 2000)
(4)
Amortisasi atas pengeluaran untukmemperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyaimasa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gasbumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi. (UU No 10 Tahun1994)
(5)
Amortisasi atas pengeluaran untukmemperoleh hak penambangan selain yang dimaksud dalam ayat (4), hakpengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnyayang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan denganmenggunakan metode satuan produksi paling tinggi 20% (dua puluh persen)setahun. (UU No 17 Tahun 2000)
(6)
Pengeluaran yang dilakukansebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuansebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (UU No 17 Tahun 2000)
(7)
Apabila terjadi pengalihan hartatak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), danayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagaikerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilanpada tahun terjadinya pengalihan tersebut. (UU No 17 Tahun 2000)
(8)
Apabila terjadi pengalihan hartayang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a danhuruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku hartatersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.(UU No 10 Tahun 1994)
Penjelasan Pasal 11
Ayat (1)
Hargaperolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk perpanjanganhak-hak atas tanah (seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai) yang mempunyai masamanfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan metode:
a.
dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat,atau;
b.
dalam bagian-bagian yangmenurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisabuku.
Khusus untuk amortisasiharta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masamanfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasisekaligus.
Ayat (2)
Penentuan masa manfaat dantarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untukmemberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. WajibPajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnyasebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnyadari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yangditerapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalamketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masamanfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka WajibPajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnyaharta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapatmenggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun.Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta takberwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4(empat) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Metode satuan produksidilakukan dengan menerapkan persentase amortisasi yang besarnya setiap tahunsama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gasbumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandunganminyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.
Apabila ternyata jumlahproduksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masihterdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atassisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yangbersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran untukmemperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan,atau hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasiberdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluhpersen) setahun.
Contoh:
Pengeluaran untukmemperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluhjuta) ton kayu, sebesar Rp 500.000.000,00 diamortisasisesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yangbersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) daripotensi yang tersedia, maka walaupun jumlah produksi pada tahun tersebutmencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnyaamortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto padatahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp100.000.000,00.
Ayat (6)
Dalam pengertianpengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yangdikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biayaproduksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnyarutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak bolehdikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untukmemperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlahkandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratusjuta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000(seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugiandari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:
Harga perolehan
Rp 500.000.000,00
Amortisasi yang telah dilakukan
100.000.000/200.000.000 barel (50%)
Rp 250.000.000,00
Nilai buku harta
Rp 250.000.000,00
Harga jual harta
Rp 300.000.000,00
Dengan demikian jumlahnilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagaikerugian dan jumlah sebesar Rp 300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 12 (UU No 10 Tahun 1994)

dihapus.
Pasal 13 (UU No 10 Tahun 1994)

dihapus.
Pasal 14
(1)
Norma Penghitungan Penghasilan Netountuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerusserta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. (UU No 17 Tahun 2000)
(2)
Wajib Pajak orang pribadi yangperedaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh menghitung penghasilanneto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimanadimaksud dalam ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada DirekturJenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajakyang bersangkutan. (UU No 17 Tahun 2000)
(3)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksuddalam ayat (2) yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan NormaPenghitungan Penghasilan Neto, wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimanadiatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.(UU No 17 Tahun 2000)
(4)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksuddalam ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untukmenghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan PenghasilanNeto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. (UU No 17 Tahun 2000)
(5)
Wajib Pajak yang wajibmenyelenggarakan pembukuan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat(3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakanpencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau pembukuanatau bukti-bukti pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkanNorma Penghitungan Penghasilan Neto atau cara lain yang ditetapkan denganKeputusan Menteri Keuangan. (UU No 17 Tahun 2000)
(6)
Dihapus. (UU No 17 Tahun 2000)
(7)
Besarnya peredaran brutosebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.(UU No 10 Tahun 1994)
Penjelasan Pasal 14
Informasiyang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untukdapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomisWajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud,Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun disadari bahwa tidaksemua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua WajibPajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha ataumelakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran tertentu, tidak diwajibkanuntuk menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikankemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak yangmenjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu,Direktur Jenderal Pajak menerbitkan normapenghitungan.
Ayat (1)
Norma Penghitungan adalah pedomanuntuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur JenderalPajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut padadasarnya dilakukan dalam hal-hal:
a.
tidak terdapat dasarpenghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap; atau
b.
pembukuan atau catatan peredaranbruto Wajib Pajak ternyatadiselenggarakan secara tidak benar.
Norma Penghitungandisusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampumenyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Ayat (2), ayat (3) danayat (4)
Norma Penghitungan Penghasilan Netohanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurangdari jumlah Rp600.000.000,00. Untukdapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut Wajib Pajakorang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangkawaktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma PenghitunganPenghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaranbrutonya sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan TataCara Perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkanpenerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.
Apabila Wajib Pajakorang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma PenghitunganPenghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajakdalam jangka waktu yang ditentukan, maka Wajib Pajak tersebut dianggap memilihmenyelenggarakan pembukuan.
Ayat (5)
Wajib Pajak yang wajibmenyelenggarakan pembukuan dan atau wajib menyelenggarakan pencatatan dan ataudianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
a.
tidak atau tidak sepenuhnyamenyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan;
b.
tidak bersediamemperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya padawaktu dilakukan pemeriksaan;
sehingga karena itumengakibatkan peredaran bruto yang sebenarnya tidak diketahui, maka penghasilannetonya dapat dihitung dengan cara lain yang ditetapkan dengan KeputusanMenteri Keuangan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) denganmemperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untukmenyelenggarakan pembukuan.
Pasal 15 (UU No 10 Tahun 1994)
Norma Penghitungan Khusus untuk menghitungpenghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitungberdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan MenteriKeuangan.
Penjelasan Pasal 15
Ketentuan ini mengatur tentangNorma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lainperusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luarnegeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagangasing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah("build, operate, and transfer").
Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnyaPenghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkanpertimbangan praktis, atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalambidang-bidang usaha tersebut, MenteriKeuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus gunamenghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.
BAB IV
CARA MENGHITUNG PAJAK

Pasal 16 (UU No 10 Tahun 1994)
(1)
Penghasilan Kena Pajak sebagaidasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajakdihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalamPasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d,dan huruf e.
(2)
Penghasilan Kena Pajak bagi WajibPajak orang pribadi dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dihitungdengan menggunakan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam pasaltersebut, dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan PenghasilanTidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(3)
Penghasilan Kena Pajak bagi WajibPajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melaluisuatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengancara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat(1) dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangansebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1)dan ayat (2), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4)
Penghasilan Kena Pajak bagi WajibPajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahunpajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkanpenghasilan netto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yangdisetahunkan.
Penjelasan Pasal 16
PenghasilanKena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya PajakPenghasilan yang terutang. Dalam Undang-undang ini dikenal dua golongan Wajib Pajak,yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.
Bagi Wajib Pajak dalamnegeri pada dasarnya terdapat dua cara untukmenentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan carabiasa dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan.
Di samping itu terdapatcara penghitungan dengan mempergunakan NormaPenghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu berdasarkankeputusan Menteri Keuangan.
Bagi Wajib Pajak luarnegeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara:
(1)
Wajib Pajak luar negeriyang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usahatetap di Indonesia;
(2)
Wajib Pajak luarnegeri lainnya.
Ayat (1)
Bagi Wajib Pajak dalamnegeri yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung denganmenggunakan cara penghitungan biasa dengan contohsebagai berikut:
-
Peredaran bruto
Rp300.000.000,00
 
-
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan
Rp255.000.000,00(-)
 
-
Laba usaha (penghasilan neto usaha)
  Rp 45.000.000,00
-
Penghasilan lainnya
Rp 5.000.000,00
 
-
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan lainnya tersebut
(Rp 3.000.000,00)
 
   
Rp 2.000.000,00 (+)
-
Jumlah seluruh penghasilan neto
  Rp 47.000.000,00
-
Kompensasi kerugian
  (Rp 2.000.000,00)
-
Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak badan)
  Rp 45.000.000,00
-
Pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi (isteri + 3 anak)
  Rp 5.184.000,00(-)
-
Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi)
  Rp 39.816.000,00
Ayat (2)
Bagi Wajib Pajak orang pribadiyang berhak untuk tidak menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknyadihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan contohsebagai berikut:
-
Peredaran bruto
  Rp300.000.000,00
-
Penghasilan neto (menurut NormaPenghitungan)
misalnya 20%
Rp 60.000.000,00
 
-
Penghasilan neto lainnya
Rp 5.000.000,00

-
Jumlah seluruh penghasilan neto
  Rp 65.000.000 00
-
Penghasilan Tidak Kena Pajak(isteri + 3anak)
  (Rp 5.184.000,00)
-
Penghasilan Kena Pajak

Rp 59.816.000,00
Ayat (3)
Bagi Wajib Pajak luarnegeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentukusaha tetap di Indonesia,cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya padadasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajakbadan dalam negeri. Oleh karena bentuk usaha tetap berkewajiban untukmenyelenggarakan pembukuan, maka Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa.
Contoh:
-
Peredaran bruto
Rp 400.000.000,00
 
-
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
Rp 275.000.000,00(-)
 
      Rp 125.000.000,00
-
Penghasilan bunga
  Rp 5.000.000,00
-
Penjualan langsung barang oleh kantor pusatyang sejenis dengan barang yang dijual bentukusaha tetap
Rp 200.000.000,00
 
-
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan
Rp 150.000.000,00 (-)
 
   
Rp 50.000.000,00
-
Dividen yang diterima atau diperoleh kantorpusat yang mempunyai hubungan efektif dengan bentukusaha tetap
  Rp 2.000.000,00 (+)
      Rp 182.000.000,00
-
Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3)
  Rp 7.000.000,00 (-)
-
Penghasilan Kena Pajak
  Rp 175.000.000,00
Ayat (4)
Contoh:
Misalnyaorang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajakdalam negeri adalah 3 (tiga) bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperolehpenghasilan sebesar Rp 10.000.000,00 maka penghitungan Penghasilan KenaPajaknya adalah sebagai berikut:
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan
Rp 10.000.000.00
Penghasilan setahun sebesar: 360/(3x30) x Rp 10.000.000,00
Rp 40.000.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak(isteri + 3anak)
Rp 5.184.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak
Rp 34.816.000,00
Pasal 17
(1)
Tarif pajak yang diterapkan atasPenghasilan Kena Pajak bagi : (UU No 17 Tahun 2000)
 
a.
Wajib Pajak orang pribadi dalamnegeri adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan KenaPajak
Tarif Pajak
sampai dengan Rp 25.000.000,00(dua puluh limajuta rupiah)
5 % (lima persen)
di atas Rp 25.000.000,00 (duapuluh lima juta rupiah) s.d. Rp50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah)
10% (sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)s.d. Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
15 % (lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00(seratus juta rupiah) s.d. Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
25 % (dua puluh lima persen)
Di atas Rp 200.000.000,00(dua ratus juta rupiah)
35% (tiga puluh lima persen)
b.
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetapadalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan KenaPajak
Tarif Pajak
sampai dengan Rp50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah)
10% (sepuluh persen)
Di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh jutarupiah) s.d. Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
15 % (lima belas persen)
Di atas Rp 100.000.000,00(seratus juta rupiah)
30 % (tiga puluh persen)
(2)
Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) huruf b dapat diturunkan menjadi paling rendah 25%(dua puluh limapersen). (UU No 17 Tahun 2000)
(3)
Besarnya lapisan Penghasilan KenaPajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah dengan KeputusanMenteri Keuangan. (UU No 17 Tahun 2000)
(4)
Untuk keperluan penerapan tarifpajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajakdibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh. (UU No 17 Tahun 2000)
(5)
Besarnya pajak yang terutang bagiWajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahunpajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dihitung sebanyak jumlah haridalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh)dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak. (UU No 10Tahun 1994)
(6)
Untuk keperluan penghitunganpajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30(tiga puluh) hari. (UU No 17 Tahun 2000)
(7)
Dengan Peraturan Pemerintah dapatditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalamPasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimanadimaksud dalam ayat (1). (UU No 17 Tahun 2000)
Penjelasan Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Contohpenghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi.
Jumlah PenghasilanKena Pajak Rp 250.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang :
5% xRp 25.000.000,00
=
Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00
=
Rp 2.500.000,00
15% x Rp 50.000.000,00
=
Rp 7.500.000,00
25% x Rp100.000.000,00
=
Rp 25.000.000,00
35% x Rp 50.000.000,00
=
Rp 17.500.000,00 (+)
    Rp 53.750.000,00
Huruf b
Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:
JumlahPenghasilan Kena Pajak Rp 250.000.000,00
Pajak Penghasilanterutang:
10% x Rp 50.000.000,00
=
Rp 5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00
=
Rp 7.500.000,00
30% x Rp 150.000.000,00
=
Rp 45.000.000,00 (+)
    Rp 57.500.000,00
Ayat (2)
Perubahan tarifsebagaimana dimaksud dalam ayat ini akan diberlakukan secara nasional, dimulai per1 (satu) Januari dan diumumkan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tarifbaru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada DewanPerwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk dibahas dalam rangka penyusunanRancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (3)
Besarnya lapisanPenghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara laintingkat inflasi. Menteri Keuangan diberi wewenangmengeluarkan keputusan yang mengatur tentang faktor penyesuaian tersebut.
Ayat (4)
Contoh:
PenghasilanKena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapantarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.
Ayat (5) dan ayat (6)
Contoh :
PenghasilanKena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)):Rp 34.816.000,00
Pajak Penghasilansetahun:
5% x Rp 25.000.000,00
=
Rp 1.250.000,00
10% x Rp 9.816.000,00
=
Rp 981.600,00(+)
    Rp 2.231.600,00
Pajak Penghasilanterutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
(3x30) � 360 x Rp 2.231.600,00= Rp 557.900,00
Ayat (7)
Ketentuan dalam ayat ini memberiwewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifatfinal atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat(2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana diaturdalam ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebutdidasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalampengenaan pajak.
Pasal 18
(1)
Menteri Keuangan berwenangmengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaanuntuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini. (UU No 10Tahun 1994)
(2)
Menteri Keuangan berwenangmenetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri ataspenyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yangmenjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut : (UU No 17Tahun 2000)
a.
besarnya penyertaan modal WajibPajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yangdisetor; atau
b.
secara bersama-sama dengan WajibPajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen)dari jumlah saham yang disetor.
(3)
Direktur Jenderal Pajak berwenanguntuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan sertamenentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan KenaPajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajaklainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhioleh hubungan istimewa. (UU No 10 Tahun 1994)
(3a)
Direktur Jenderal Pajak berwenangmelakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihakotoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksiantar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalamayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasipelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebutberakhir. (UU No 17 Tahun 2000)
(4)
Hubungan istimewa sebagaimanadimaksud dalam ayat (3) dan (3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f,dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila : (UU No 17 Tahun 2000)
a.
Wajib Pajak mempunyai penyertaanmodal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh limapersen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak denganpenyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajakatau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yangdisebut terakhir; atau
b.
Wajib Pajak menguasai WajibPajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaanyang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c.
terdapat hubungan keluarga baik sedarahmaupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satuderajat.
(5)
dihapus. (UU No 17 Tahun 2000)
Penjelasan Pasal 18
Ayat (1)
Undang-undang ini memberiwewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnyaperbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untukkeperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapattingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antarautang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandinganantara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, maka pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam haldemikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak,Undang-undang ini menentukan adanya modal terselubung.
Istilah modal disinimenunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansisedangkan yang dimaksud dengan kewajaran atau kelaziman usaha adalah adatkebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehatdalam dunia usaha.
Ayat (2)
Dengan semakinberkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan eraglobalisasi, dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnyadi luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaranpajak, maka terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usahayang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untukmenentukan saat diperolehnya dividen.
Contoh:
PT A dan PT Bmasing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempatkedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursaefek. Dalam tahun 2000 X Ltd.memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp100.000.000,00.
Dalam hal demikian,Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasarpenghitungannya.
Ayat (3)
Maksud diadakannyaketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapatterjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapathubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang darisemestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukankembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya diantara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan atau biaya tersebutdapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi lababerdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubunganistimewa dan indikasi serta data lainnya.
Demikian pulakemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakanpenyertaan modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasimengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim terjadi antara parapihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atauindikasi lainnya.
Dengandemikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagaipenyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagipemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yangdikenakan pajak.
Ayat (3a)
Kesepakatan harga transfer (Advance PricingAgreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur JenderalPajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihakyang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuandiadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaantransfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajakdengan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlahroyalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastianhukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksiatas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APAdapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur JenderalPajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan antara DirekturJenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lainyang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Ayat (4)
Hubungan istimewa diantara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satudengan yang lain yang disebabkan karena:
a.
kepemilikan ataupenyertaan modal;
b.
adanya penguasaan melaluimanajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-haltersebut di atas, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapatpula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap adaapabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh limapersen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (limapuluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaanlangsung.
Selanjutnya apabila PT B tersebutmempunyai 50% (limapuluh persen) saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidaklangsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B dan PT C dianggap terdapathubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh limapersen) saham PT D, maka antara PT B, PT C dan PT D dianggap terdapat hubunganistimewa.
Hubungankepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadidan badan.
Huruf b
Hubunganistimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melaluimanajemen atau penggunaan teknologi, walaupun tidak terdapat hubungankepemilikan.
Hubungan istimewadianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yangsama. Demikian juga hubungan antara beberapaperusahaan yang berada dalam penguasaan yang samatersebut.
Huruf c
Yang dimaksuddengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajatadalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garisketurunan ke samping satu derajat adalah saudara.
Yangdimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajatadalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garisketurunan ke samping satu derajat adalah ipar.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 19 (UU No 10 Tahun 1994)
(1)
Menteri Keuangan berwenangmenetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabilaterjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karenaperkembangan harga.
(2)
Atas selisih penilaian kembaliaktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiridengan keputusan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajaktertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
Penjelasan Pasal 19
Ayat (1)
Adanyaperkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter dapatmenyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapatmengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Dalamkeadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentangpenilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya danpenghasilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
BAB V
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN

Pasal 20 (UU No 10 Tahun 1994)
(1)
Pajak yang diperkirakan akan terutangdalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalanmelalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain,serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
(2)
Pelunasan pajak sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3)
Pelunasan pajak sebagaimanadimaksud pada ayat (1) merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadapPajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecualiuntuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final."
Penjelasan Pasal 20
Ayat (1)
Agar pelunasan pajakdalam tahun pajak berjalan mendekati jumlah pajak yang akanterutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya dilakukanmelalui:
a.
pemotongan pajak olehpihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan, jasaatau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, pemungutan pajak ataspenghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan pemotonganpajak atas penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan tertentu sebagaimanadimaksud dalam Pasal 23.
b.
pembayaran oleh Wajib Pajaksendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
Ayat (2)
Pada dasarnya pelunasanpajak dalam tahun berjalan dilakukan untuk setiap bulan, namun Menteri Keuangandapat menentukan masa lain, seperti saat dilakukannya transaksiatau saat diterima atau diperolehnya penghasilan, sehingga pelunasan pajakdalam tahun berjalan dapat dilaksanakan dengan baik.
Ayat (3)
Pelunasan pajak dalamtahun pajak berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak yang nantinya bolehdiperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Dengan pertimbangan kemudahan,kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat waktu, dan pertimbanganlainnya, maka dapat diatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan yang bersifatfinal atas jenis-jenis penghasilan tertentu seperti dimaksud dalam Pasal 21,Pasal 22, dan Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak dapatdikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang.
Pasal 21 (UU No 17 Tahun 2000)
(1)
Pemotongan, penyetoran, danpelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, ataukegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh WajibPajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh :
a.
pemberi kerja yang membayargaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalansehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b.
bendaharawan pemerintah yangmembayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungandengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c.
dana pensiun atau badan lainyang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangkapensiun;
d.
badan yang membayar honorariumatau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasatenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
e.
penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaransehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
(2)
Tidak termasuk sebagai pemberikerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajaksebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah badanperwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimanadimaksud dalam Pasal 3.
(3)
Penghasilan pegawai tetap ataupensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilanbruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnyaditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan PenghasilanTidak Kena Pajak.
(4)
Penghasilan pegawai harian,mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlahpenghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakanpemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(5)
Tarif pemotongan atas penghasilansebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksuddalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan laindengan Peraturan Pemerintah.
(6)
dihapus.
(7)
dihapus.
(8)
Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan,penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,jasa atau kegiatan diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Penjelasan Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalanmelalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh olehWajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dankegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajakadalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, danapensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Huruf a
Pemberi kerja yangwajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah orang pribadiataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit perusahaan,yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaranlain dengan nama apapun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai, sebagaiimbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan. Dalampengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidakdikecualikan dari kewajiban memotong pajak.
Yangdimaksud dengan pembayaran lain adalah pembayaran dengan namaapapun selain gaji, upah, tunjangan, dan honorarium, dan pembayaran lainseperti bonus, gratifikasi, tantiem.
Yang dimaksud dengan bukan pegawai adalah orang pribadi yangmenerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnyaartis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.
Huruf b
Bendaharawan pemerintah termasukbendaharawan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembagapemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar RepublikIndonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, danpembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Huruf c
Dana pensiun atau badanlain seperti badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkanuang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan pembayaran lain yangsejenis dengan nama apapun.
Dalam pengertian uangpensiun atau pembayaran lain termasuktunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun tidak, yangdibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, penerimatabungan hari tua.
Huruf d
Dalam pengertian badan termasukorganisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat (2). Termasuk tenaga ahli orang pribadimisalnya dokter, pengacara, akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas danbertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
Huruf e
Penyelenggara kegiatanwajib memotong pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentukapapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeriberkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam pengertian penyelenggara kegiatantermasuk antara lain badan, badan pemerintah, organisasi termasuk organisasiinternasional, perkumpulan, orang pribadi sertalembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakanmisalnya kegiatan olah raga, keagamaan, kesenian dan kegiatan lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah penghasilan brutodikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak KenaPajak. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iurantunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.
Bagi pensiunan besarnyapenghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto dikurangidengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk jugapenerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.
Ayat (4)
Besarnya penghasilanyang dipotong pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetaplainnya adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian penghasilanyang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan denganKeputusan Menteri Keuangan, dengan memperhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajakyang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 22 (UU No 10 Tahun 1994)
(1)
Menteri Keuangan dapat menetapkanbendaharawan pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaranatas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dariWajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain.
(2)
Ketentuan mengenai dasarpemungutan, sifat dan besarnya pungutan, tata cara penyetoran, dan tata carapelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh MenteriKeuangan.
Penjelasan Pasal 22
Ayat (1) dan ayat (2)
Berdasarkan ketentuanini yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah:
-
bendaharawanpemerintah, termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya,berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
-
badan-badan tertentu, baik badanpemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor, ataukegiatan usaha di bidang lain.
Pemungutan pajak berdasarkanketentuan ini, dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalampengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak danuntuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu.
Dalamhubungan ini Menteri Keuangan menetapkan besarnya pungutan yang dapat bersifatfinal.
Pelaksanaan ketentuanini ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan antara lain:
-
penunjukan pemungutpajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien;
-
tidak mengganggukelancaran lalu lintas barang;
-
prosedur pemungutan, penyetoran, danpelaporan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan.
Pasal 23
(1)
Atas penghasilan tersebut di bawahini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang olehbadan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan,bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepadaWajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihakyang wajib membayarkan :
 
a.
sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas: (UU No 17 Tahun 2000)
  1)
dividen sebagaimana dimaksuddalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
  2)
bunga, sebagaimana dimaksuddalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
  3)
royalti;
  4)
hadiah dan penghargaan selainyang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21ayat (1) huruf e;
b.
sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto danbersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi; (UU No 10Tahun 1994)
c.
sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraanpenghasilan neto atas : (UU No 10 Tahun 1994)
  1)
sewa dan penghasilan lainsehubungan dengan penggunaan harta;
  2)
imbalan sehubungan dengan jasa teknik,jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yangtelah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2)
Besarnya perkiraan penghasilanneto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalamayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. (UU No17 Tahun 2000)
(3)
Orang pribadi sebagai Wajib Pajakdalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajaksebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (UU No 10 Tahun 1994)
(4)
Pemotongan pajak sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan atas : (UU No 17 Tahun 2000)
a.
penghasilan yang dibayar atauterutang kepada bank;
b.
sewa yang dibayarkan atau terutangsehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c.
dividen sebagaimana dimaksuddalam Pasal 4 ayat (3) huruf f;
d.
bunga obligasi sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j;
e.
bagian laba sebagaimana dimaksuddalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f.
sisa hasil usaha koperasi yangdibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g.
bunga simpanan yang tidak melebihibatas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan olehkoperasi kepada anggotanya.
Penjelasan Pasal 23
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini mengatur pemotongan pajakatas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal,pemberian jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajaksebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e, yang dibayarkan atauterutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggarakegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Dasar pemotongan pajakdalam ayat ini dibedakan antara penghasilan bruto dan perkiraan penghasilanneto.Dasar pemotongan pajak untuk pembayaran penghasilan dalam bentuk dividen, bunga, royalti, hadiah, danpenghargaan adalah jumlah penghasilan bruto. Dasar pemotongan untuk sewadan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaanharta adalah perkiraan penghasilan neto.
Penghasilan berupaimbalan jasa yang wajib dilakukan pemotongan pajak adalah jasa teknik, jasamanajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang diterima ataudiperoleh Wajib Pajak selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilansebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Atas penghasilan berupabunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi dipotong pajak sebesar 15% (limabelas persen) dan bersifat final. Atas penghasilan berupabunga simpanan koperasi yang tidak melebihi batas yang ditetapkan denganKeputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya tidakdipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
Ayat (2)
Agar ketentuan inidapat dilaksanakan dengan baik dan dinamis sesuai dengan perkembangan duniausaha, maka Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkanjenis-jenis jasa lain dan besarnya perkiraanpenghasilan neto. Dalam menetapkan besarnya perkiraanpenghasilan neto, Direktur Jenderal Pajak selain memanfaatkan data daninformasi intern, dapat memperhatikan pendapat dan informasi dari pihak-pihakyang terkait.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 24 (UU No 10 Tahun 1994)
(1)
Pajak yang dibayar atau terutangdi luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperolehWajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkanUndang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
(2)
Besarnya kredit pajak sebagaimanadimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilanyang dibayar atauterutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yangterutang berdasarkan Undang-undang ini.
(3)
Dalam menghitung batas jumlahpajak yang boleh dikreditkan, penentuan sumber penghasilan adalah sebagaiberikut :
a.
penghasilan dari saham dansekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atausekuritas tersebut bertempat kedudukan;
b.
penghasilan berupa bunga,royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negaratempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebutbertempat kedudukan atau berada;
c.
penghasilan berupa sewasehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat hartatersebut terletak;
d.
penghasilan berupa imbalansehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihakyang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atauberada;
e.
penghasilan bentuk usaha tetapadalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha ataumelakukan kegiatan
(4)
Penentuan sumber penghasilanselain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsipyang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.
(5)
Apabila pajak atas penghasilandari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan ataudikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harusditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itudilakukan.
(6)
Ketentuan mengenai pelaksanaanpengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri ditetapkan dengankeputusan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 24
Padadasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasukpenghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untukmeringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak ataspenghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, ketentuan ini mengaturtentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutangdi luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruhpenghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
Ayat (1)
Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkanterhadap pajak yang terutang di Indonesiahanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima ataudiperoleh Wajib Pajak.
Contoh:
PT A diIndonesia merupakan pemegang sahamtunggal dari Z Inc. di Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperolehkeuntungan sebesar US$ 100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku di negara Zadalah 48% dan PajakDividen adalah 38%. Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagaiberikut:
Keuntungan Z Inc
US$ 100,000.00
Pajak Penghasilan(Corporate income tax) atas Z Inc. (48%)
US$ 48,000.00 (-)
  US$ 52,000.00
Pajak atas dividen(38%)
US$ 19,760.00 (-)
Dividen yang dikirimke Indonesia
US$ 32,240.00
Pajak Penghasilan yang dapatdikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yangditerima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlahsebesar US$ 19,760.00. Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc.sebesar US$ 48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yangterutang atas PTA, karena pajak sebesar US$ 48,000.00 tersebut tidak dikenakan langsung ataspenghasilan yang diterima atau diperoleh PT A dari luar negeri, melainkan pajakyang dikenakan atas keuntungan Z Inc. di negara X.
Ayat (2)
Untuk memberikanperlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang diterima atau diperolehdari luar negeri dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia,maka besarnya pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat dikreditkanterhadap pajak yang terutang di Indonesia tetapi tidak boleh melebihi besarnyapajak yang dihitung berdasarkan Undang-undang ini.
Cara penghitunganbesarnya pajak yang dapat dikreditkan ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan wewenang sebagaimana diatur pada ayat (6).
Ayat (3) dan (4)
Dalamperhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luarnegeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang menurutUndang-undang ini, penentuan sumber penghasilan menjadi sangat penting. Selanjutnya,ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan untukmemperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut.
Mengingat Undang-undangini menganut pengertian penghasilan yang luas, maka sesuai denganketentuan pada ayat (4) penentuan sumber dari penghasilan selain yang tersebutpada ayat (3) dipergunakan prinsipyang sama dengan prinsip sebagaimanadimaksud pada ayat (3) tersebut, misalnya A sebagai Wajib Pajak dalam negerimemiliki sebuah rumah di Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut dijual. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut merupakanpenghasilan yang bersumber di Singapura karena rumah tersebut terletak di Singapura.
Ayat (5)
Apabila terjadipengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luarnegeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadilebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya ditambahkan padaPajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang ini.
Misalnya dalam tahun1996, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri tahunpajak 1995 sebesar Rp 5.000.000,00 yang semula telah termasuk dalam jumlahpajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk tahun pajak 1995,maka jumlah sebesar Rp5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilanyang terutang dalam tahun pajak 1996.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 25
(1)
Besarnya angsuran pajak dalam tahunpajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulanadalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat PemberitahuanTahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan : (UU No 17Tahun 2000)
a.
Pajak Penghasilan yang dipotongsebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilanyang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b.
Pajak Penghasilan yang dibayaratau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 24;dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagiantahun pajak.
(2)
Besarnya angsuran pajak yangharus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaianSurat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuranpajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu. (UU No 17 Tahun 2000)
(3)
dihapus. (UU No 17 Tahun 2000)
(4)
Apabila dalam tahun pajakberjalan diterbitkan surat ketetapan pajakuntuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembaliberdasarkan surat ketetapan pajak tersebut danberlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak. (UU No 17 Tahun2000)
(5)
dihapus. (UU No 17 Tahun 2000)
(6)
Direktur Jenderal Pajak berwenanguntuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajakberjalan dalam hal-hal tertentu, yaitu : (UU No 10 Tahun 1994)
a.
Wajib Pajak berhak atas kompensasikerugian;
b.
Wajib Pajak memperolehpenghasilan tidak teratur;
c.
Surat Pemberitahuan TahunanPajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktuyang ditentukan;
d.
Wajib Pajak diberikan perpanjanganjangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e.
Wajib Pajak membetulkan sendiriSurat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuranbulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
f.
Terjadi perubahan keadaan usahaatau kegiatan Wajib Pajak.
(7)
Penghitungan besarnya angsuranpajak bagi Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha MilikDaerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya termasuk Wajib Pajak orang pribadipengusaha tertentu diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. (UU No 17 Tahun2000)
(8)
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yangbertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dalamPeraturan Pemerintah. (UU No 10 Tahun 1994)
(9)
Pajak yang telah dibayar sendiridalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentumerupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan,kecuali apabila Wajib Pajak yang bersangkutan menerima atau memperolehpenghasilan lain yang tidak dikenakan PajakPenghasilan yang bersifat final menurut Undang-undang ini. (UU No 10 Tahun1994)
Penjelasan Pasal 25
Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulananyang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.
Ayat (1)
Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutangberdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun2000
Rp 50.000.000,00
dikurangi :
 
a.
Pajak Penghasilan yang dipotongpemberi kerja (Pasal 21)
Rp 15.000.000,00
 
b.
Pajak Penghasilan yang dipungutoleh pihak lain (Pasal 22)
Rp 10.000.000,00
 
c.
Pajak Penghasilan yang dipotongoleh pihak lain (Pasal 23)
Rp 2.500.000,00
 
d.
Kredit Pajak Penghasilan luarnegeri (Pasal 24)
Rp 7.500.000,00 (+)
 
Jumlah kredit pajak
Rp 35.000.000,00 (-)
Selisih
Rp 15.000.000,00
Besarnya angsuran pajak yang harusdibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2001 adalah sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12).
Contoh 2:
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimanadimaksud dalam contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima ataudiperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalamtahun 2000, maka besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendirisetiap bulan dalam tahun 2001 adalah sebesar Rp 2.500.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 6).
Ayat (2)
Mengingat batas waktu penyampaianSurat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah 3 (tiga) bulan setelahtahun pajak berakhir, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendirioleh Wajib Pajak sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan TahunanPajak Penghasilan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan ayat (1).
Berdasarkan ketentuan ini, besarnyaangsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SuratPemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut adalah samadengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Contoh:
Apabila Surat Pemberitahuan TahunanPajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan Maret 2001, makabesarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari danPebruari 2001 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2000, misalnyasebesar Rp 1.000.000,00.
Apabila dalam bulan September 2000diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil, sehinggaangsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 2000 menjadi nihil,maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak setiap bulan untukbulan Januari dan Pebruari 2001 tetap sama dengan angsuran bulan Desember,yaitu nihil.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Apabila dalam tahun berjalanditerbitkan suratketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu maka angsuran pajak dihitungberdasarkan suratketetapan pajak tersebut. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulanberikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Contoh:
Berdasarkan Surat PemberitahuanTahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2000 yang disampaikan Wajib Pajak dalambulan Maret 2001, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalahsebesar Rp1.250.000,00. Dalam bulan Juni 2001 telah diterbitkan surat ketetapanpajak tahun pajak 2000 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulansebesar Rp 2.000.000,00.
Berdasarkan ketentuan dalam ayatini, maka besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2001 adalah sebesar Rp2.000.000,00. Penetapan besarnya angsuran pajakberdasarkan suratketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar atau lebih kecil dari angsuranpajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Pada dasarnya besarnya pembayaranangsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkindiupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutangpada akhir tahun. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan ini, dalam hal-haltertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikanpenghitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh WajibPajak dalam tahun berjalan, apabila terdapat kompensasi kerugian, Wajib Pajakmenerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur, atau terjadi perubahankeadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Contoh 1:
-
Penghasilan PT X tahun 2000
Rp 120.000.000,00
-
Sisa kerugian tahun sebelumnyayang masih dapat dikompensasikan
Rp 150.000.000,00
-
Sisa kerugian yang belumdikompensasikan tahun 2000
Rp 30.000.000,00
Penghitungan Pajak PenghasilanPasal 25 tahun 2001 adalah:
-
Penghasilan yang dipakai dasarpenghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 =
Rp 120.000.000,00- Rp 30.000.000,00 = Rp 90.000.000,00.
-
Pajak Penghasilan terutang:
  10% x Rp 50.000.000,00 =
Rp 5.000.000,00
  15% x Rp 40.000.000,00 =
Rp 6.000.000,00 (+)
    Rp 11.000.000,00
Apabila pada tahun 2000 tidak adaPajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yangdibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24,maka besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun 2001 = 1/12 x Rp 11.000.000,00= Rp 916.666,67
(dibulatkanRp 916.666,00).
Contoh 2:
Penghasilan teratur Wajib Pajak Adari usaha dagang dalam tahun 2000 Rp 48.000.000,00 dan penghasilan tidakteratur dari mengontrakkan rumah selama 3 (tiga) tahun yang dibayar sekaliguspada tahun 2000 sebesar Rp 72.000.000,00. Mengingat penghasilan yang tidakteratur tersebut sekaligus diterima pada tahun 2000, maka penghasilan yangdipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib PajakA pada tahun 2001 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.
Contoh 3:
Perubahan keadaanusaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan atau peningkatanusaha. PT Byang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2000 membayar angsuranbulanan sebesar Rp15.000.000,00.
Dalam bulan Juni 2000 pabrik milikPT B terbakar, oleh karena itu berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajakmulai bulan Juli 2000 angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebihkecil dari Rp 15.000.000,00.
Sebaliknya apabila PT B mengalamipeningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakanPenghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahunsebelumnya, maka kewajiban angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan olehDirektur Jenderal Pajak.
Ayat (7)
Pada prinsipnya penghitunganbesarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada SuratPemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun berdasarkan ketentuan ini,Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan dasar penghitungan besarnyaangsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut dengan tujuan agar lebihmendekati kewajaran berdasarkan data yang dapat dipakai untuk menentukanbesarnya pajak yang akan terutang pada akhir tahunserta sebagai dasar penghitungan jumlah (besarnya) angsuran pajak dalam tahunberjalan.
Bagi Wajib Pajak baru yang mulaimenjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan, perludiatur untuk menentukan besarnya angsuran pajak, karena Wajib Pajak belummemasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Penentuan besarnya angsuran pajakdidasarkan atas kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang bergerakdalam bidang perbankan, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah,terdapat kewajiban menyampaikan kepada Pemerintah laporan yang berkaitan denganpengelolaan keuangan dalam suatu periode tertentu, yang dapat dipakai sebagaidasar penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahunberjalan.
Dalam perkembangan dunia usaha, kemungkinanterdapat bidang usaha atau Wajib Pajak tertentu termasuk Wajib Pajak orangpribadi pengusaha tertentu yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyaitempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yangmempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, yang angsuran pajaknya dapatdihitung berdasarkan data atau kenyataan yang ada, sehingga mendekatikewajaran.
Ayat (8)
Pajak yang dibayar Wajib Pajakorang pribadi yang bertolak ke luar negeri merupakan pembayaran angsuran pajakdalam tahun berjalan yang dapat dikreditkan dengan jumlah Pajak Penghasilanyang terutang pada akhir tahun. Berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya tugas negara,pertimbangan sosial, budaya, pendidikan, keagamaan, dan kelazimaninternasional, dengan Peraturan Pemerintah diatur tentang pengecualian darikewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.
Ayat (9)
Sebagaimana dimaksud dalam ayat(7), besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentuyaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar dibeberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapapusat perbelanjaan, ditetapkan tersendiri dengan Keputusan Menteri Keuangan.Angsuran pokok bagi Wajib Pajak tersebut, merupakan pelunasan pajak yangterutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, sepanjang Wajib Pajak tersebuttidak menerima atau memperoleh penghasilan lain yangtidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Apabila Wajib Pajaktersebut juga menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakanPajak Penghasilan yang bersifat final, maka dalam menghitung pajaknya, seluruhpenghasilannya digunggungkan dan dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkanketentuan umum, sedangkan pajak yang telah dibayarmerupakan kredit pajak.
Pasal 26
(1)
Atas penghasilan tersebut dibawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yangterutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggarakegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnyakepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia,dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihakyang wajib membayarkan : (UU No 17 Tahun 2000)
a.
dividen;
b.
bunga, termasuk premium,diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalianutang;
c.
royalti, sewa, dan penghasilanlain sehubungan dengan penggunaan harta;
d.
imbalan sehubungan dengan jasa,pekerjaan, dan kegiatan;
e.
hadiah dan penghargaan;
f.
pensiun dan pembayaran berkalalainnya.
(2)
Atas penghasilan dari penjualanharta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterimaatau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap diIndonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luarnegeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilanneto. (UU No 10 Tahun 1994)
(3)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimanadimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. (UU No 17Tahun 2000)
(4)
Penghasilan Kena Pajak sesudahdikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesiadikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebutditanamkan kembali di Indonesia,yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan. (UUNo 17 Tahun 2000)
(5)
Pemotongan pajak sebagaimanadimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) bersifat final, kecuali : (UUNo 10 Tahun 1994)
a.
pemotongan atas penghasilansebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c;
b.
pemotongan atas penghasilan yang diterimaatau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah statusmenjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.
Penjelasan Pasal 26
Ataspenghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia,Undang-undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendirikewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usahaatau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, danpemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan inimengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yangditerima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Ayat (1)
Pemotongan pajak berdasarkanketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri,penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luarnegeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selainbentuk usaha tetap di Indonesia, dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen)dari jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajibdilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
1)
penghasilan yang bersumber dari modaldalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap sehubungandengan interest swap dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti,dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2)
imbalan sehubungan dengan jasa,pekerjaan, atau kegiatan;
3)
hadiah dan penghargaan dengannama dan dalam bentuk apapun;
4)
pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnyasuatu badan Subjek Pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri, maka Subjek Pajak dalam negeritersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluhpersen) dari Rp 100.000.000,00.
Sebagai contoh lain misalnyaseorang atlit dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan larimaraton di Indonesia, dan kemudian merebut hadiah uang, maka atas hadiahtersebut dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).
Ayat (2) dan ayat (3)
Ketentuan ini mengatur tentangpemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luarnegeri yang bersumber di Indonesia,selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yaitu penghasilandari penjualan harta dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas penghasilantersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraanpenghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangandiberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan netodimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajaktersebut.
Ketentuan ini tidak diterapkandalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukankegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, atau apabila penghasilandari penjualan harta tersebut telah dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal4 ayat (2).
Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudahdikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar20% (dua puluh persen).
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak bentukusaha tetap di Indonesia
Rp17.500.000.000,00
Pajak Penghasilan:
 
10% x Rp 50.000.000,00 =
Rp 5.000.000,00
 
15% x Rp 50.000.000,00 =
Rp 7.500.000,00
 
30% x Rp 17.400.000.000,00 =
Rp5.220.000.000,00 (+)
 
Pajak Penghasilan
Rp 5.232.500.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak setelahdikurangi pajak
Rp12.267.500.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 26 yangterutang
20% X 12.267.500.000 = Rp2.453.500.000,00
 
Namun apabila penghasilan setelahdikurangi pajak sebesar Rp12.267.500.000,00 tersebutditanamkan kembali di Indonesiasesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotongpajak.
Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajakatas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, namun atas penghasilansebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan ataspenghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubahstatus menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotonganpajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapatdikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Contoh:
A sebagai tenaga asing orangpribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeriuntuk bekerja di Indonesiauntuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal1 Januari 2001. Pada tanggal 20 April 2001 perjanjian kerja tersebut diperpanjangmenjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir padatanggal 31 Agustus 2001.
Jika perjanjian kerja tersebuttidak diperpanjang maka status A adalah tetap sebagaiWajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut makastatus A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadiWajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2001. Selama bulanJanuari sampai dengan Maret 2001 atas penghasilan bruto Atelah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.
Berdasarkan ketentuan ini, makauntuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masaJanuari sampai dengan Agustus 2001, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telahdipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut,dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Pasal 27 (UU No 10 Tahun 1994)

dihapus.
BAB VI
PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN

Pasal 28 (UU No 10 Tahun 1994)
(1)
Bagi Wajib Pajak dalam negeri danbentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuktahun pajak yang bersangkutan, berupa :
a.
pemotongan pajak ataspenghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalamPasal 21;
b.
pemungutan pajak ataspenghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidanglain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
c.
pemotongan pajak ataspenghasilan berupa deviden, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, danimbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
d.
pajak yang dibayar atauterutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkansebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
e.
pembayaran yang dilakukan oleh WajibPajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
f.
pemotongan pajak atas penghasilansebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5).
(2)
Sanksi administrasi berupa bunga,denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan denganpelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlakutidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud padaayat (1)."
Penjelasan Pasal 28
Ayat (1)
Pajak yang telah dilunasi dalamtahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ataupun yangdipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapatdikreditkan terhadap pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yangbersangkutan.
Contoh:
Pajak Penghasilan yang terutang
  Rp 80.000.000,00
Kredit pajak:
   
Pemotongan pajak dari pekerjaan(Pasal 21)
Rp 5.000.000,00
 
Pemungutan pajak oleh pihak lain(Pasal 22)
Rp 10.000.000,00
 
Pemotongan pajak dari modal(Pasal 23)
Rp 5.000.000,00
 
Kredit pajak luar negeri (Pasal24)
Rp 15.000.000,00
 
Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak(Pasal 25)
Rp 10.000.000,00 (+)
 
Jumlah Pajak Penghasilan yangdapat dikreditkan

Rp 45.000.000,00 (-)
Pajak Penghasilan yang masihharus dibayar

Rp 35.000.000,00
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 28A (UU No 10 Tahun 1994)
Apabila pajak yang terutang untuksuatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksuddalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihanpembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikutsanksi-sanksinya.
Penjelasan Pasal 28A
Sesuai dengan ketentuandalam Pasal 17B ayat (1) Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak ataupejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukanpengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.
Hal-hal yang harusmenjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihanpajak adalah:
a.
kebenaran materiiltentang besarnya pajak penghasilan yang terutang;
b.
keabsahan bukti-bukti pungutandan bukti-bukti potongan pajak serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajaksendiri selama dan untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Oleh karena itu untukkepentingan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat lain yangditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas laporan keuangan,buku-buku, dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan denganpenentuan besarnya pajak penghasilan yang terutang, kebenaran jumlah pajak danjumlah pajak yang telah dikreditkan dan untuk menentukan besarnya kelebihanpembayaran pajak yang harus dikembalikan.
Maksud pemeriksaan ini untukmemastikan bahwa uang yang akan dibayar kembali kepadaWajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak Wajib Pajak.
Pasal 29 (UU No 10 Tahun 1994)
Apabila pajak yang terutang untuksuatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimanadimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harusdilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelahtahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan."
Penjelasan Pasal 29
Ketentuan inimewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutangmenurut ketentuan Undang-undang ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan PajakPenghasilan disampaikan. Apabila tahun buku sama dengan tahun takwim makakekurangan pajak tersebut wajib dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 Maretsetelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengantahun takwim, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, makakekurangan pajak wajib dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 September.
Pasal 30 (UU No 10 Tahun 1994)

dihapus.
Pasal 31 (UU No 10 Tahun 1994)

dihapus.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 31 A (UU No 17 Tahun 2000)
(1)
Kepada Wajib Pajak yang melakukanpenanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerahtertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk :
a.
pengurangan penghasilan netopaling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan;
b.
penyusutan dan amortisasi yangdipercepat;
c.
kompensasi kerugian yang lebihlama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
d.
pengenaan Pajak Penghasilanatas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluhpersen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlakumenetapkan lebih rendah;
(2)
Fasilitas perpajakan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 31A
Ayat (1)
Salah satu prinsip yangperlu dipegang teguh di dalam undang-undang perpajakan adalah diberlakukan danditerapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakekatnya sama,dengan berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jikabenar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agardi dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannyakemudahan tersebut.
Tujuan diberikannyakemudahan pajak ini adalah untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesiabaik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidangusaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalamskala nasional, khususnya penggalakan ekspor. Selain itukemudahan pajak juga diberikan untuk mendorong pengembangan daerah terpencil,seperti yang banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, dalam rangka pemerataanpembangunan.
Fasilitas perangsangpenanaman ini dapat dinikmati selama 6(enam) tahun, sehingga setiap tahunnya Wajib Pajak berhak mengurangkan daripenghasilan neto sebesar 5% (lima persen) dari jumlah realisasi penanaman.
Demikianpula ketentuan ini dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjiandengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidanglainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31 B (UU No 17 Tahun 2000)
(1)
Wajib Pajak yang melakukanrestrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk Pemerintahdapat memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbatas baik dalam jangkawaktu maupun jenisnya berupa keringanan Pajak Penghasilan yang terutang atas:
a.
pembebasan utang;
b.
pengalihan harta kepadakreditur untuk penyelesaian utang;
c.
perubahan utang menjadipenyertaan modal;
(2)
Fasilitas pajak sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 31B
Krisis ekonomidan moneter yang terjadi sejak tahun 1997 telah menimbulkan dampak negatif yangluas terhadap sektor perbankan, usaha investasi, kesempatan kerja, dan makroekonomi. Hal tersebut terjadi terutama karena banyaknya utang luar negeridan dalam negeri (dalam valuta asing) yang mengalami kenaikan drastis sebagaiakibat terdepresiasinya secara signifikan nilai rupiah terhadap mata uangdollar Amerika Serikat. Dalam rangka upaya pemulihankegiatan perekonomian nasional Pemerintah perlu menempuh kebijakan khususrestrukturisasi utang. Restrukturisasi tersebut dapatdilakukan dalam bentuk pembebasan (sebagian atau seluruh) utang, pengalihanharta untuk penyelesaian utang, dan perubahan utang menjadi modal.
Restrukturisasiutang yang diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi tersebut, perludidorong dengan pemberian fasilitas perpajakan. Pemberianfasilitas dimaksud sifatnya terbatas baik jenis maupun jangka waktunya. Agar fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan oleh mereka yangbetul-betul berhak, terarah dan terkendali sesuai dengan maksud dan tujuannya,fasilitas hanya diberikan terhadaprestrukturisasi utang yang dilakukan melalui lembaga khusus yang dibentukPemerintah, yaitu Satuan Tugas Prakarsa Jakarta.
Ayat (1)
Fasilitas pajak yang diberikan masa berlakunya terbatas hanya untuktahun-tahun pajak 2000, 2001 dan 2002. Adapun fasilitas pajak yang dimaksud adalah berupa keringanan PajakPenghasilan dalam bentuk :
a.
pembebasan sebagian sertapengangsuran pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang atas pembebasan utangyang diberikan oleh kreditur;
b.
pembebasan Pajak Penghasilan yangterutang atas pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang sepanjangharta tersebut dinilai sebesar nilai buku pihak yang mengalihkan;
c.
pembebasan Pajak Penghasilan yang terutangatas perubahan utang menjadi penyertaan modal sepanjang penyertaan modaltersebut dinilai sebesar utang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31 C (UU No 17 Tahun 2000)
(1)
Penerimaan negara dari PajakPenghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yangdipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusatdan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2)
Pembagian penerimaan PemerintahDaerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut denganPeraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 31C
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32 (UU No 17 Tahun 2000)
Tata cara pengenaan pajak dansanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan sesuaidengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16Tahun 2000.
Penjelasan Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 32 A (UU No 17 Tahun 2000)
Pemerintah berwenang untukmelakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalamrangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Penjelasan Pasal 32A
Dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi danperdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlakukhusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pemajakan dari masing-masing negara gunamemberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda sertamencegah pengelakan pajak. Adapun bentuk dan materinyamengacu pada konvensi internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakannasional masing-masing negara.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 33 (UU No 7 Tahun 1983)
(1)
Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 30Juni 1984 serta yang berakhir antara tanggal 30 Juni 1984 dan tanggal 31 Desember1984 dapat memilih cara menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan dalamOrdonansi Pajak Perseroan 1925 atau Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, atauberdasarkan ketentuan dalamUndang-undang ini.
(2)
Fasilitas perpajakan yang telah diberikan sampai dengantanggal 31 Desember 1983, yang :

a.
jangka waktunya terbatas, dapat dinikmati oleh WajibPajak yang bersangkutan sampai selesai;

b.
jangka waktunya tidak ditentukan , dapatdinikmati sampai dengan tahun pajak sebelum tahun pajak 1984.
(3)
Penghasilan Kena Pajak yang diterima atau diperolehdalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambanganlainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, yang masihberlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, dikenakan pajak berdasarkanketentuan-ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajakatas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya.
Penjelasan Pasal 33
Ayat (1)
Bagi Wajib Pajak yang tahunberjalan merupakan tahun buku, maka ada kemungkinan bahwa sebagian dari tahunpajak itu termasuk di dalam tahun takwim 1984. Menurut ketentuan ayat ini, maka apabila 6 (enam) bulan dari tahun pajakitu termasuk dalam tahun takwim 1984 Wajib Pajak diperkenankan untuk memilihapakah mau mempergunakan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 atau Ordonansi PajakPendapatan 1944, ataupun memilih penerapan ketentuan-ketentuan yang termuatdalam Undang-undang ini. Kesempatan memilih semacam itu berlaku pula bagi Wajib Pajak yanglebih dari 6 (enam) bulan dari tahun pajaknya termasuk di dalam tahun takwim1984.
Ayat (2)

Huruf a

Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya terbatasmisalnya fasilitas perpajakan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentangPenanaman Modal Dalam Negeri yang sudah diberikan sampai dengan tanggal 31Desember 1983 masih tetap dapat dinikmati sampai dengan habisnya fasilitasperpajakan tersebut.

Hurufb

Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya tidakditentukan, tidak dapat dinikmati lagi terhitung mulai tanggal berlakunyaUndang-undang ini, misalnya :
-
fasilitas perpajakan yang diberikan kepada PT Danareksa,berupa pembebasan Pajak Perseroan atas laba usaha dan pembebasan Bea MeteraiModal atas penempatan dan penyetoran modal saham, berdasarkan Surat KeputusanMenteri Keuangan No: KEP-1680/MK/II/12/1976 tanggal 28 Desember 1976;
-
fasilitas perpajakan yang diberikan yang diberikankepada perusahaan Perseroan Terbatas yang menjual saham-sahamnya melaluiPasar Modal, berupa keringanan tarif Pajak Perseroan, berdasarkan KeputusanMenteri Keuangan No. 112/KMK.04/1979 tanggal 27 Maret 1979.
Ayat (3)
Ordonansi Pajak Perseroan 1925, dan Undang-undang Pajakatas Bunga, Dividen dan Royalty 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannyatetap berlaku terhadap Penghasilan Kena Pajak yang diterima atau diperolehdalam bidang penambangan minyak dan gasbumi dan dalam bidang penambangan lainnya yang dilakukan dalam rangkaperjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, tersebut masih berlaku padasaat berlakunya Undang-undang ini.
Ketentuan Undang-undang ini baru berlaku terhadapPenghasilan Kena Pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambanganminyak dan gas bumi yang dilakukan dalam bentuk perjanjian Kontrak Karya danKontrak Bagi Hasil, apabila perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasiltersebut dibuat setelah berlakunya Undang-undang ini.
Pasal 33A (UU No 10 Tahun 1994)
(1)
Wajib Pajak yang tahun bukunyaberakhir setelah tanggal 30 Juni 1995 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuanUndang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir denganUndang-undang ini.
(2)
Wajib Pajak yang memperolehfasilitas perpajakan dan telah mendapat keputusan tentang saat mulai berproduksisebelum tanggal 1 Januari 1995, maka fasilitas perpajakan dimaksud dapatdinikmati sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan.
(3)
Fasilitas perpajakan yang telahdiberikan, berakhir pada tanggal 31 Desember 1994, kecuali fasilitas sebagaimanadimaksud pada ayat (2).
(4)
Wajib Pajak yang menjalankanusaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, danpertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atauperjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saatberlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalamKontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaanpertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasamadimaksud.
Penjelasan Pasal 33A
Ayat (1)
BagiWajib Pajak yang tahun pajaknya merupakan tahun buku, maka ada kemungkinanbahwa sebagian dari tahun pajak itu termasuk di dalam tahun takwim 1984. Menurut ketentuan ayatini, maka apabila 6 (enam) bulan dari tahun pajak itu termasuk dalam tahuntakwim 1984 Wajib Pajak diperkenankan untuk memilih apakah mau mempergunakanOrdonansi Pajak Perseroan 1925 atauOrdonansi Pajak Pendapatan 1944, ataupun memilih penerapan ketentuan-ketentuanyang termuat dalam undang-undang ini. Kesempatan memilihsemacam itu berlaku pula bagi Wajib Pajak yang lebih dari 6 (enam) bulan daritahun pajaknya termasuk di dalam tahun takwim 1984.
Ayat (2)
Huruf a
Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya terbatasmisalnya fasilitas perpajakan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentangPenanaman Modal Dalam Negeri yang sudah diberikan sampai dengan tanggal 31Desember 1983 masih tetap dapat dinikmati sampai dengan habisnya fasilitasperpajakan tersebut.
Hurufb
Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya tidakditentukan, tidak dapat dinikmati lagi terhitung mulai tanggal berlakunyaundang-undang ini, misalnya:
-
fasilitas perpajakan yangdiberikan kepada PT Danareksa, berupa pembebasan Pajak Perseroan atas labausaha dan pembebasan Bea Meterai Modal atas penempatan dan penyetoran modal saham, berdasarkan Surat KeputusanMenteri Keuangan No. KEP-1680/MK/II/12/1976 tanggal 28 Desember 1976;
-
fasilitas perpajakanyang diberikan kepada perusahaan Perseroan Terbatas yang menjualsaham-sahamnya melalui Pasar Modal, berupa keringanan tarif Pajak Perseroan,berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 112/KMK.04/1979 tanggal 27 Maret1979.
Ayat (3)
Ordonansi PajakPerseroan 1925, dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970beserta semua peraturan pelaksanaannya tetap berlaku terhadap penghasilan kenapajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumidan dalam bidang penambangan lainnya yang dilakukan dalam rangka perjanjianKontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, sepanjang perjanjian Kontrak Karya danKontrak Bagi Hasil tersebut masih berlaku pada saat berlakunya undang-undangini.
Ketentuan undang-undang ini baruberlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalambidang penambangan minyak dan gas bumi yang dilakukan dalam bentuk perjanjian KontrakKarya dan Kontrak Bagi Hasil, apabila perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak BagiHasil tersebut dibuat setelah berlakunya undang-undang ini.
Pasal 34 (UU No 10 Tahun 1994)
Peraturanpelaksanaan di bidang Pajak Penghasilan yang masih berlaku pada saat berlakunyaUndang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan denganketentuan dalam Undang-undang ini.
Penjelasan Pasal 34
Cukup jelas
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35 (UU No 10 Tahun 1994)
Hal-hal yang belumcukup diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah.
Penjelasan Pasal 35
Dengan peraturan pemerintah diatur lebihlanjut hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini, yaitu semuaperaturan yang diperlukan agar Undang-undang ini dapat dilaksanakan dengansebaik-baiknya, termasuk pula peraturan peralihan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar